Total Tayangan Halaman

Rabu, 28 Mei 2014

(2035) Days of Tyas



Tempo hari, aku bertemu dengan seorang sahabat dekat setelah lama tak bersua, sebut saja Rama. Ia terkenal cukup eksentrik dengan gaya sok ceplas ceplos bicara kesana kemari seakan tahu semuanya. Setelah berteman cukup lama, persahabatan di antara kami terjalin dengan erat, sehingga kami cukup memahami satu sama lain tanpa perlu menjadi gay.
Rama tampak sangat murung beberapa waktu terakhir, setelah ditelusuri, ternyata ia mengalami gejala penyakit anak muda dalam hal asmara, patah hati. Ia bercerita mengenai fluktuasi hubungannya dalam rentang waktu 2035 hari, 48.840 jam, 2.930.400 menit, dan 175.824.000 detik yang ia jalani bersama gadis pujaan. Waktu yang cukup untuk membeli sebuah kendaraan roda empat melalui cara kredit. Kalkulatif, keeksentrikannya memperhitungkan segala sesuatu walaupun kurang pintar di pelajaran Matematika membuat ia seringkali dicap pelit oleh beberapa temannya.
Rama telah menjalin hubungan cukup lama dengan seorang gadis jelita bernama Tyas. Seorang gadis yang ia cintai sejak warna seragamnya putih abu-abu. Tyas adalah seorang gadis yang cantik, pendiam namun atraktif, memiliki selera gaya berbeda dari kebanyakan gadis muda lain, taat beragama, patuh pada orang tua, dan memenuhi kriteria putri idaman sekaligus menantu bayangan banyak orang tua. Di masa putih abu-abu, sudah banyak teman seangkatan Rama dari berbagai sekolah mencoba mendekati Tyas, semua gagal.
Rama sendiri adalah seorang cupu yang dikategorikan eksentrik karena hampir putus urat malunya. Ia berjuang merebut perhatian Tyas selama masa putih abu-abu dengan soundtrackWhat Can I do To Make You Love Me dari The Corrs. Ia bersaing ketat dengan beberapa kandidat lain yang secara intensif melakukan lobi untuk memenangkan hati Tyas. Rama tidak gentar, dengan koalisi beberapa rekan, dan serangkaian lobi secara personal, ia memulai sebuah misi untuk memenangkan hati sang Mahadewi.
Perjuangan Rama di masa putih abu-abu terpengaruh oleh berbagai elemen roman picisan tentang bunga, cokelat, puisi, lagu, artikel, buku, film dan kejutan. Ia benar benar mengaransemen sebuah lagu, membawakan cokelat, membuat puisi, menulis skrip dan menyutradari sebuah film, menulis artikel mengenai deskripsi perasaannya, membeli buku berjudul sama dengan Tyas, dan mempersiapkan kejutan ulang tahun untuk gadis pujaan.
Namun, apa daya, segala usahanya gugur, hati Tyas kukuh dan kuat seperti Tembok China yang menahan segala serangan dari kaum barbar Mongol. Tyas bergeming dan dingin menghadapi Rama, banyak rekan mengasihani Rama, tapi ia tidak peduli. Banyak orang menasehatinya untuk mundur saja, Rama pantang menyerah, ia terdiam menghadapi tembok China dan memikirkan strategi baru (setelah rangkaian aksi sebelumnya gagal) sambil menjaga jarak. Terminologi yang tepat untuk menggambarkan Rama adalah keras kepala, seakan tidak ada otak, melainkan batu di kepalanya, sehingga keras kepalanya. Ia mengubah taktik untuk menjadi lebih pasif dan mengakhiri masa SMA tanpa pernah mengutarakan perasaannya secara harfiah kepada Tyas. Dugaan kuat pribadi, sepertinya Rama menderita Obsesif Kompulsif ringan bila sel syaraf otaknya mendengar, mengingat, atau melihat Tyas. Masa Ujian akhir yang semakin mendekat memaksanya merubah orientasi prioritas.
Masa putih abu-abu berakhir, mereka berdua lulus, Rama akhirnya diterima di universitas kere (karena almamaternya sewarna dengan karung goni) dengan jurusan yang masih asing di telinga awam, kami menempuh perguruan tinggi di kota yang sama, kos yang sama pula. Sementara itu, Tyas diterima di universitas ternama (pada tingkat provinsi) di jurusan Pendidikan anak usia agak lucu tapi mulai bandel. Kini terbentang jarak antara Rama dan Tyas sejauh   132 kilometer, Rama di kota budaya, sementara Tyas di kota industri. Pun, Rama selalu GR karena merasa dekat dengan Tyas, walau Tyas sama sekali tidak merasakan kedekatan itu.
Di masa kuliah, Rama yang pantang menyerah kembali melancarkan serangan udara terhadap tembok China. Berawal dari pesan singkat yang entah kenapa berbalas, terjadilah komunikasi intensif di antara dua insan ini. Hal yang cukup unik pada periode pasca putih abu-abu adalah, Tyas menjadi cukup terbuka terhadap Rama. Singkat cerita, pada suatu malam di pertengahan Oktober, Rama berteriak kegirangan di kamarnya, ia melompat-lompat di atas kasur dan berlarian di kamarnya. Matanya berbinar, senyumnya lebar, ia tampak sangat senang, seperti bocah umur tiga tahun membuka bungkus mainan. Ia memamerkan ponsel putih bututnya yang berisi pesan singkat, dari Tyas “Ram,luv u..”. Ikut berbahagia, kuucapkan selamat untuk sahabat karibku. Rama menjadi juara dari kompetisi ketat banyak pemuda lain yang berusaha memenangkan hati Rama. Dirinya adalah kekasih pertama Tyas, begitu juga sebaliknya. Ia melanjutkan lompatan girangnya hingga kelelahan dan tertidur lelap. Itulah hari 1, hari pertama ungkapan perasaannya dengan tindakan non-verbal dalam kurun waktu satu setengah tahun sebelumnya terbalas, ia resmi memulai hubungan dengan Tyas.
Berhasil mendapatkan gadis pujaannya, adalah sesuatu yang tampak seperti kemenangan Nazi atas Perang Dunia 2, tidak mungkin terjadi. Rama tampak ceria, perjuangannya berbuah manis. Ia mengubah analogi dari kaum Mongol dan Tembok China, menjadi Stalingrad, di mana keadaannya sekarang adalah pasukan komunis Soviet yang dengan (amat sangat) bersusah payah dan kekuatan tersisa mengalahkan prajurit Jerman di musim dingin. Berhasil mengamankan prioritas hidup dalam hal asmara, ia tak mau berlarut dalam euforia anak muda soal cinta. Rama fokus belajar di jurusan yang asing di telinga awam itu dan mengisi waktu luang dengan berorganisasi di beberapa bidang dan fokus melakukan riset. Kehadiran Tyas sebagai pendamping, walaupun jarak jauh, cukup mengubah hari-hari Rama. Ia menjadi lebih antusias dan sering mengatakan inspirasi baru dalam hari-harinya adalah Tyas.
Walaupun tampak sibuk, Rama selalu meluangkan waktu untuk berkomunikasi via telepon dan pesan singkat setiap hari dengan gadis pujaannya. Peribahasa “Love is stronger than the miles between you”terimplementasi dengan cukup kuat. Teman-teman Rama sering mencemooh dirinya karena seringkali menyendiri di waktu istirahat kuliah, untuk memegang telepon dan berbicara panjang lebar sambil senyum-senyum sendiri seperti orang tak waras di pinggir jalan. Toh, ia tak peduli, apa saja kata orang, asalkan ia menjalin komunikasi yang lancar dengan Tyas.
Walau jurusan yang Rama tekuni seringkali membuatnya terdampar di daerah terpencil dalam kurun waktu lama, ia masih bisa mempertahankan komunikasi dengan mendaki dan berjalan cukup jauh untuk mencari segaris tanda sinyal di telepon selulernya, untuk sekedar menanyakan kabar Tyas. Bahkan ketika terbentang jarak jutaan kilometer karena perbedaan benua dan perbedaan waktu 4 jam pun, mereka mampu mempertahankan relasi. Dengan dukungan penuh dari Tyas, Rama menjalani berbagai kegiatan dengan bersemangat.
Beberapa kali Rama menemui jalan buntu dalam kepadatan kegiatan dan kuliahnya, dengan sabar Tyas memberikan dukungan dalam berbagai bentuk yang kreatif. Intensitas pertemuan mereka pun jarang, minimal sekali dalam waktu satu bulan mereka bertemu di kota kelahiran. Seringkali mereka menentukan jadwal kepulangan yang sama, agar bisa naik bus bersama. Kadangkala, Rama meluangkan waktu di antara kesibukannya yang padat untuk menaiki sepeda motor atau bus menempuh jarak 132 Kilometer hanya untuk mengembangkan senyum di bibir manis Tyas yang senang mendapatkan kunjungan tak terduga. Sesekali, Tyas hadir di akhir pekan untuk mengunjungi pantai bersama, menikmati film, mencoba masakan kuliner baru berdua, dan sekedar berjalan-jalan menyusuri kota sambil mengobrol dan tertawa. Rama tampak bahagia, begitu pula Tyas. Rama yang cerewet seperti burung beo tampak mampu membangun chemistry cukup kuat dengan Tyas yang pendiam.
Pernah suatu ketika, Tyas mengabarkan dirinya sakit dan tidak mau minum obat. Tanpa buang waktu Rama segera menempuh perjalanan 132 kilometer dengan sepeda motornya tanpa bercerita ke Tyas kalau dirinya akan datang. Akhirnya, pertemuan terjadi dan Tyas mau meminum obatnya, sekaligus senang mendapat kejutan. Didera kesibukan, Rama segera kembali ke kota budaya, dini hari ia sampai. Mukanya lelah, namun senyumnya mengembang lebar. Tak apalah perjalanan jauh, asal bisa menjenguk kekasih yang sedang tidak mau minum obat, katanya. Hanya gelengan kepalaku yang menjadi respon atas kalimat pendeknya itu.
Tahun tahun kebersamaan itu terus berlanjut, Rama dengan mulut besarnya seringkali membanggakan Tyas di hadapan koleganya. Tentang Tyas yang menurutnya paling cantik, semua gadis selain Tyas buruk rupa, Tyas paling manis, dan beberapa ungkapan lebay lainnya, seakan ia menjalin hubungan dengan seorang bidadari. Kesombongan yang agak menjengkelkan sebenarnya, tapi Rama selalu terlihat antusias dan serius. Ketika membanggakan kekasihnya itu, matanya tidak mengindikasikan kebohongan. Perkiraan pribadi, Soundtrack dari perasaan Tyas adalah lagu Malique and D’essentials yang berjudul Dia.

"dia seperti apa yang selalu kunantikan, aku inginkan
dia melihatku apa adanya seakan ku sempurna
dia bukakan pintu hatiku yang lama tak bisa
percayakan cinta hingga dia disini
memberi cinta ku harap"

Di kala mereka sedang berkumpul bersama teman-temannya, Rama akan membanggakan Tyas, Tyas hanya akan tersenyum jengkel karena malu sambil mencubit lengan Rama. Lucu, secara karakter, Tyas adalah Times New Roman dengan kurva garis lurus, tegas, dan kaku. Sementara itu, Rama adalah Comic Sans, dengan kontur tak beraturan yang unik. Tapi entah bagaimana dua karakter dalam Microsoft Word tersebut mampu berdampingan dalam chemistry yang terpadu. Tyas adalah teh kering sementara Rama adalah gula yang keras, hubungan mereka adalah air putih yang menghubungkan dua zat terpisah itu.
Hari hari itu terus berlanjut, terkadang terjadi pertengkaran di antara mereka seperti pasangan pada umumnya. Hal hal sepele yang menjadi pemicunya, sms tak berbalas, terlalu sibuk dengan organisasi dan teman, juga kebiasaan bangun kesiangan. Seperti pasangan pada umumnya, mereka juga cepat berimprovisasi, mengenal kebiasaan buruk masing-masing dan menghindari pemicu pemicu pertengkaran. Masa perkuliahan akhirnya berakhir dengan hubungan mereka yang saling menguatkan, dengan fluktuasi hubungan dalam kategori stabil. Mereka diwisuda hampir bersamaan, satu hal yang sangat disesali Rama, ia tak bisa menghadiri ujian Tyas karena sedang ada urusan yang tak bisa ditinggal.
Selepas wisuda, Tyas kembali ke kampung halaman untuk menjadi pendidik. Sementara itu Rama mengejar cita-cita untuk mendapat beasiswa dan melakukan studi lanjutan. Sayangnya, di tengah jalan, Rama harus memutar langkah dan kembali ke kampung halaman. Pilihan yang cukup berat untuk meninggalkan kota budaya. Rama menghabiskan waktu di kampung halaman menjalani misi khusus, poin positif adalah intensitas pertemuannya dengan Tyas meningkat drastis. Mereka tak lagi menjalani hubungan jarak jauh.
Setiap pulang sekolah, Rama selalu menyempatkan waktu untuk makan siang bersama Tyas. Hari-harinya yang mendung karena putaran langkah yang diambil menjadi sedikit lebih cerah dengan adanya Tyas. Begitupun sebaliknya, Tyas menjadi senang karena mereka tak lagi menjalani hubungan jarak jauh. Intensitas pertemuan yang tinggi pun kadang diselingi oleh Rama yang bepergian jarak jauh dalam rentang waktu lama untuk panggilan kerja. Hingga akhirnya masa karier serius dimulai, Rama diterima sebagai pelayan masyarakat di institusi hura-hura. Sementara itu, Tyas diterima sebagai pegawai tetap institusi pendidikan yang terhormat. Sayangnya mereka harus terpisah oleh jarak lagi. Rama harus tinggal di ibukota kandang ayam, sementara Tyas tinggal di kampung halaman yang nyaman. Rama dan Tyas telah memantapkan diri, mereka telah yakin satu sama lain untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Sebuah pertanda baik, ia ceria menyampaikan keseriusan hubungannya kepadaku.
Akhirnya dimulailah tahapan baru dalam hubungan mereka, tahap hubungan jarak jauh dalam rentang jarak 552 kilometer, dan sekitar 12 jam perjalanan darat. Seperti hubungan jarak jauh sebelumnya, mereka menjalin komunikasi intensif. Namun kini Rama cukup tersita waktunya dengan kesibukan kerja dan kepadatan kota kandang ayam. Untung saja Tyas selalu bersabar dan menyemangati, setiap hari, setiap, pagi, siang, dan malam. Pasangan yang membuatku iri, dengan kebersamaan dan perhatian tanpa memandang jarak.
 Hingga akhirnya badai itu datang…
Tempo hari, kulihat Rama menyetir mobil dan berhenti di sebuah perempatan di kampung halaman. Kepalanya menoleh ke jok kiri yang kosong, sepintas kulihat Rama tersenyum kecut. Entah kenapa, pipinya terlihat basah, ia laki-laki lucu yang sangat tangguh selama ini.
 Tak pernah kulihat segala daya listrik energinya mendadak mati seperti ini. Aku ajak dirinya untuk bertemu. Tak biasa, langkahnya gontai, tatapannya tertunduk dalam sudut 45 derajat dalam langkah kaki menuju rumahku. Tak tampak senyum lebar mengembang di bibirnya, tatapannya kosong, wajahnya lesu, matanya sembab agak kemerahan, ia tampak sangat terguncang. Dengan singkat ia bercerita, “Tak bisa dilanjutkan lagi sepertinya”. Segera aku paham maksudnya, hubungannya dengan Tyas tak lagi berlanjut, kutepuk pundaknya pelan menguatkan.

Rama adalah laki-laki dengan dua prioritas sebagai fondasi utama hidupnya, Ibu dan Tyas. Kini ia kehilangan salah satunya, struktur bangunan semangat dan antusiasme dalam dirinya roboh seketika. Ia tertunduk dan sesekali mendongak, bibirnya terkatup, tak lagi mengeluarkan suara berisik dengan berbagai banyolan kocak. Beberapa kali ia merasakan kemarahan dan kekecewaan, ia hanya akan bersikap diam, menutup diri dan menghindari bertemu orang orang. Namun ada yang berbeda kali ini, gesturnya menyiratkan kepedihan mendalam, bahunya tak lagi tegak, seakan ada dua karung berisi semen di tiap sisinya. Kondisinya mengingatkanku akan karakter Tom dalam (500) Days of Summer , ia tampak linglung dan mengalami disorientasi. Sebenarnya pasangan ini pernah putus 2-3 kali sebelumnya,tapi tidak pernah reaksinya seperti ini.
Rama mulai bercerita, bibirnya bergetar. Ternyata ada pihak tertentu yang memiliki legitimasi atas pilihan Tyas tak bisa menerimanya sebagai pendamping. Ironis, Rama harus menanggung kesalahan yang tak pernah dilakukan, kesalahan yang selama ini ia tentang sekuat tenaga. Latar belakang kehidupannya seakan menjadi bayangan dari diri Rama, tak akan pernah bisa lepas, selamanya. Posisinya sekarang seperti penerus korban genosida dan diskriminasi mereka yang tertuduh merah di era 1966. Tuduhan miring melekat dirinya secara otomatis, tanpa ia kehendaki, tanpa ia mau. Seakan-akan di KTPnya ada tanda khusus menandakan ia bukan bagian dari kebanyakan orang yang layak menjadi bagian dari kelas terhormat. Rama ada di sebuah persimpangan yang menyakitkan, di mana semua pilihan tertutup rapat oleh bayangan yang mau tidak mau terpaksa ia tanggung.
Dalam sebuah kesempatan yang sangat jarang, kulihat ia pesimis, ia menyiratkan keputusasaan. Tangannya mengusap matanya pelan, dan untuk pertama kali, kulihat ia mengeluarkan air mata. Rama, laki laki lucu yang selalu mendukungku di saat aku sedang tak berdaya, yang sekalipun tak pernah kulihat bersedih,kini dalam kondisi setertekan ini. Ia tidak pernah curhat mengenai masalah pribadinya, Rama selalu berusaha untuk menguatkan kolega, dan tak berbagi tentang masalahnya. Kutepuk pundaknya, tak tahu harus mengungkapkan apa.
“Apa langkahmu selanjutnya?”
Tanyaku pelan, ia menggeleng kepala pelan.
“Ada satu pertanyaan yang Tyas ajukan, dan belum kujawab dengan jelas karena kesibukan…”
Ucapnya terisak,
“Apa sih yang bikin kamu ingin terus bertahan denganku?, begitu pertanyaannya”
“Apa jawabanmu, Ram?”
“Aku ingin mempertahankannya, karena ialah yang paling sempurna dalam ekspektasiku, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, her imperfection is a perfection itself. Karena aku yakin dirinyalah yang terbaik untukku dalam segala kekurangan yang sudah aku hapal dan kelebihan yang aku syukuri. Aku ingin mempertahankannya, karena dengan segala hal yang sudah kita lalui bersama, aku mantap kalau ia akan menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku dan menjadi pendamping yang setia bagiku, tak pernah sekalipun terpikir untuk berpaling darinya, dan Tyas tak pernah berpaling dariku. Yang paling penting, senyum, pesan singkat, tatapan mata, suara, telepon, dan akumulasi kebahagiaan darinya adalah sumber energiku untuk menjalani hari, mengejar mimpi…sulit membayangkan menjalani hari-hari dalam jangka panjang tanpa dirinya yang selalu mensupport penuh keadaanku” ucapnya sambil agak tersenyum sedikit mengingat hari hari indah di belakangnya. Dalam sekejap, senyum itu hilang, ia kembali tertunduk.
Aku sedih melihatnya, Rama yang begitu kuat, dalam sekejap menjadi begitu rapuh. Dirinya yang tak pernah menyerah dengan tujuan, kini menjadi lemas tak berdaya.
“Apa langkahmu selanjutnya?”
Tanyaku pelan, sambil menyuguhkan secangkir teh.
“Aku tidak tahu…aku bingung” ucapnya lirih, sekilas kulihat matanya.
Kuperhatikan lebih detail, kulihat masih ada setitik semangat di pancaran mata di antara puing-puing kerapuhannya. Ia akan bangkit, dan kembali berjuang, karena temanku, Rama Tak Pernah Mati, Tak Akan Berhenti bila telah menetapkan sebuah tujuan. Energi itu telah tercabik dengan sangat keras dan remuk, tapi tidak hancur. Ia bangkit dari kursi dan melangkah gontai pelan, entah kenapa pancaran energi yang tadi sekilas kulihat kini terlihat samar. Apakah ia benar benar putus harapan kali ini?
“Every second from one hundred seventy five million, eighty hundred twenty four thousand second  I spent with her in past, is a worth time to spent. It filled with laugh, care, smile, love, kindness, and sweet memory…I truly love her from deep inside my heart and couldn’t think any way of life without her stood by my side”pesan singkat Rama dalam perjalanan pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar