Total Tayangan Halaman

Senin, 26 Maret 2012

MAHASISWA, LUPAKAH KITA?

(Artikel ini adalah manifesto semangat Cogito ergo sum dan Scripta Manent sekaligus kritik untuk diri saya sendiri)

BBM naik tinggi
Susu tak terbeli…orang pintar tarik subsidi…
Anak kami kurang gizi
(Iwan Fals-Galang Rambu Anarki)

Beragam reaksi dituai oleh pemerintah karena rencana menaikkan harga Bahan Bakar Minyak pada tanggal 1 April nanti. Demonstrasi buruh di Jakarta menyita perhatian karena kuantitas massa-nya yang begitu besar. Di Yogyakarta, hampir setiap hari sejak minggu lalu rombongan mahasiswa menduduki pertigaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, mereka berkumpul dan mengekspresikan penolakannya. Di Makassar, kericuhan tak terelakkan saat demonstran terlibat bersitegang dengan kepolisian. Di berbagai kota lain, demonstrasi dengan variasi kuantitas massa terjadi di berbagai lokasi. Setiap ekspresi penolakan, adalah cermin dari kekhawatiran. Massa demonstrasi penolakan BBM adalah sebuah massa yang menurut puisi Radar Panca Dahana Massa tak bermasa
            Dilihat dari perspektif lain, media layar kaca, media cetak, maupun media maya memberitakan dukungan berbagai pihak terhadap kebijakan pemerintah menaikkan tarif BBM. Alasan mereka yang cukup rasional adalah harga minyak mengikuti harga di pasar internasional. Yang mengherankan, semua dukungan yang ditampilkan dalam media tersebut adalah golongan minor yang dalam perspektif umum termasuk dalam kategori mampu atau minimal terpenuhi kebutuhan dasarnya. Ya, secara visual mereka jelas mengenakan kemeja, jas, dan mengenakan pernak pernik jam atau sepatu mahal. Salut dengan kemauan mereka membantu meringankan beban anggaran pemerintah. Pada perspektif lain, wawancara terhadap tukang ojek, pedagang, dan masyarakat biasa menyiratkan keberatan mereka terhadap naiknya harga BBM. Ya, kesulitan yang sudah mereka alami kini akan terasa semakin sulit dengan adanya kenaikan berbagai harga.
Sementara itu di sisi lain, di mana posisi mahasiswa?. Sebelum berbicara jauh mengenai posisi, mari berbicara mengenai keseharian mahasiswa pada umumnya. Dalam menjalani studi, menurut salah satu dosen saya yang galak namun cerdas, kita hanya membayar kurang dari 20% dari keseluruhan total biaya yang harus ditanggung. Biaya SPP dan BOP yang dibayar oleh setiap mahasiswa pada tiap semesternya, sebenarnya sangat kecil dibanding total biaya yang sebenarnya. Pemerintah memberikan subsidi pendidikan yang begitu besar untuk perguruan tinggi, sadarkah kita dari mana uang tersebut?.
Pajak!ya, subsidi kita ditanggung oleh pajak masyarakat. Dari pajak ribuan rupiah di tiap pedagang pasar, pajak dari tanah petani, pajak yang dipotong dari gaji pegawai negeri sipil, pajak yang dibayar bahkan oleh golongan tak mampu. Lupakah kita, terhadap mereka yang menunjang biaya perkuliahan?. Lupakah, hutang budi kita terhadap masyarakat yang begitu besar, karena dukungan mereka yang tak terlihat di balik layar seluruh proses pendidikan yang sedang kita jalani?.
Banyak kejadian bersejarah, dalam taraf nasional maupun internasional, mahasiswa berperan sangat penting dalam menentukan jejak jangka panjang negara-bangsa. Sampai sekarang, kita memperingati 20 Mei sebagai hari kebangkitan nasional. 20 Mei adalah tanggal saat mahasiswa kedokteran di Jakarta membentuk organisasi perjuangan bernama Boedi Oetomo. Tahun 1965-1966, mahasiswa (yang banyak terkenang dalam sosok Soe Hok Gie) turun ke jalan melawan sang proklamator. 1979, di Teheran, mahasiswa berperan besar dalam revolusi republik Islam Iran. 1989, lapangan Tiananmen menjadi saksi bisu perjuangan mahasiswa China yang menuntut demokrasi. 1998, jutaan mahasiswa di berbagai penjuru Indonesia serempak turun di jalan, menumbangkan kekuasaan tiran. Tak heran mahasiswa dicap sebagai agen perubahan, mereka dianggap golongan netral di balik perlindungan tembok universitas yang mampu menyuarakan kritik fundamental tanpa tendensi partisan.
Namun, apa yang terjadi sekarang? dimanjakan oleh teknologi, mahasiswa kini lebih aktif melakukan proses konsumsi. Alih-alih membicarakan kondisi masyarakat atau dialektika teori akademis di bidangnya masing-masing, dalam proses studi mereka akan lebih sibuk membahas film terkini, telepon seluler dengan berbagai perangkat aplikasinya yang canggih, dan merebut panggung eksistensi dalam jejaring sosial di dunia maya. Data kemiskinan dalam level nasional hanya menjadi bahan obrolan ringan di sela makan siang, atau nongkrong di kafe ketika malam.
Dalam salah satu tugas perkuliahan, diadakan survey mengenai alokasi pengeluaran mahasiswa dari pengeluaran bulanan yang ada. Hasil survey membuktikan, mayoritas pengeluaran mahasiswa digunakan untuk membeli pulsa, makan, hiburan (nonton bioskop/konser/karaoke), fashion dan transportasi. Buku sendiri menjadi pilihan pusat pengeluaran yang sedikit (itupun karena ada tugas dan seringkali hanya foto kopi). Dilihat dari statistik pengeluaran anggaran, terlihat pola kehidupan mahasiswa kini.
Info mengenai gosip artis, skor sepak bola dari Eropa, berbagai produk baju baru dan diskon pusat perbelanjaan adalah topik utama obrolan yang harus ditindaklanjuti dengan tindakan nyata. Bila mendengar kabar diskon, tak sedikit mahasiswa yang bergegas mengeluarkan uang untuk berbelanja. Bila mendengar data kemiskinan, apakah kita akan tergerak untuk membantu mereka?. Kemiskinan kini dipahami oleh mayoritas mahasiswa sebagai kondisi, bukan implikasi. Secara ironis, mayoritas mahasiswa menjadi katalis perubahan dengan memilih posisi aman sebagai anti-oposisi. Padalah Karl Marx menyebut konflik sebagai resolusi untuk mencapai tahap kehidupan yang lebih baik/lebih tinggi daripada sebelumnya, dan konflik selalu intim dengan perubahan. Lupakah kita, dengan status sebagai agen perubahan?.
Lupakah kita, status sebagai mahasiswa didanai dari jerih payah sebagian penduduk republik, yang menurut Badan Pusat Statistik tahun 2011 menyebut 12,49% atau 30,02 juta orang masih dalam kondisi miskin?. Indikator kemiskinan yang ada pun sebenarnya masih diperdebatkan, karenanya diperkirakan kemiskinan yang ada lebih besar. Jalanan yang tadinya mimbar utama mahasiswa mengkritisi pemerintah, kini dengan ironis justru membuat sebagian dari mereka yang mempertahankan mimbar tersebut sasaran caci maki oleh mahasiswa lain. Keluhan jalan menjadi macet, merepotkan, berisik, stigma ekstrim kiri-ekstrim kanan dan berbagai hal lain menjadi latar belakang caci maki terhadap pihak yang masih mempertahankan mimbar tersebut. Lupakah kita, jalanan adalah saksi perubahan radikal dalam berbagai masa?.
Tak masalah sebenarnya bila ada yang mendukung kenaikan harga BBM dengan alasan penyehatan anggaran negara yang memang masuk akal. Setiap orang memiliki hak untuk mengemukakan pendapat dalam negara berasas demokrasi. Namun kita, sebagai mahasiswa, haruskah membebek terhadap apa yang eksekutif lemparkan sebagai kebijakan?. Ichsanuddin Nursi sebagai ekonom yang tidak diragukan kapabilitasnya menyebut betapa cacatnya kebijakan pemerintah kali ini.
Lupakah kita, kenaikan harga ini akan memberatkan sebagian besar rakyat Indonesia? lupakah kita, kenaikan harga BBM 30% akan memicu kenaikan berbagai harga barang pokok yang lain?. Lupakah kita, bahkan hingga kini, masih ada jutaan masyarakat Indonesia masih di bawah garis kemiskinan? Lupakah kita pemerintah masih tidak mampu mengurus kemiskinan? Lupakah kita, berbagai kebijakan di hulu, akan menciptakan efek dahsyat di hilir?.
Lupakah kita, mayoritas dari mereka yang terkena imbas paling buruk dari kenaikan harga, tak mampu menyuarakan penderitaannya?.
Tanpa bermaksud menyetujui demo anarkis yang merusak fasilitas publik, tapi bila kita memang tidak setuju dengan format demonstrasi, kenapa tidak beraksi dengan cara lain. Tidak cocok dengan demonstrasi bukan berarti tidak peduli dengan keadaan di sekitar kita kan?. Setidaknya mengkritisi kebijakan dan berpikir implikasinya terhadap golongan yang paling marginal. Bila memang kita benar-benar sadar konsekuensi yang terjadi, bisakah kita tetap diam?. Bila memang tidak menyukai demonstrasi, sebenarnya tersedia format implikatif lain yang bisa diterapkan untuk melakukan perubahan.
Bila memang kita sebagai mahasiswa tak lagi memiliki kepedulian, bila memang kita sebagai mahasiswa hanya peduli terhadap proses konsumsi produk, bila memang kita sebagai mahasiswa, tak lagi tersentuh hatinya melihat ketidakadilan, bila memang kita sebagai mahasiswa, melihat ekspresi dari berpikir kritis adalah sebuah kebodohan. Bila memang kita sebagai mahasiswa, melihat status pendidikan kita hanya sebagai jenjang untuk meraih karir dengan jaminan kesejahteraan finansial. Maka, berterima kasihlah pada para pembayar pajak dari golongan tak mampu, mereka tak mengenal kita, dan tak akan menuntut kita untuk membantu mereka menghadapi kesulitan akibat kebijakan.

Kamis, 09 Februari 2012

VETO RUSIA-CHINA, SEBUAH PESAN?


Draf Resolusi Dewan Keamanan PBB terhadap Suriah gagal menemui implementasi karena penolakan dua negara anggota tetap Dewan Keamanan, China dan Rusia. Penolakan ini menghasilkan kehebohan besar di negara barat dan Liga Arab yang menginginkan sanksi dijatuhkan terhadap pemerintahan Bashaar Al-Ashaad. Lebih dari 5000 warga dikabarkan tewas dalam berbagai demonstrasi yang terjadi di berbagai penjuru Suriah akibat aksi represif tentara pemerintah. Namun sepertinya Rusia dan China menutup mata terhadap realita yang terjadi di lapangan. Mereka memilih untuk tidak mencegah aksi kejam pemerintah Suriah yang disebut Barrack Obama sebagai “mesin pembunuh” (SM, 07/02/2012).
Veto yang dilakukan oleh Rusia dan China kali ini sebenarnya adalah sebuah langkah yang cukup berani. Dengan menolak resolusi, Rusia dan China seakan memberontak pada otoritas mayoritas pemegang suara PBB yang biasanya tunduk pada kepentingan Barat (Amerika dan Eropa). Hal ini cukup unik, karena tidak biasanya Rusia dan China melakukan penolakan secara terang-terangan pada resolusi Dewan Keamanan kasus terhadap kasus yang sensitif semacam ini. Abstain adalah sikap yang biasanya dipilih oleh kedua negara tersebut untuk menyatakan kenetralan, agar tidak dalam posisi berseberangan dengan anggota DK yang lain.
Indikasi faktor ekonomi di balik penolakan itu begitu menguat di media massa. Rusia adalah eksportir senjata terbesar bagi Suriah dan China adalah importir terbesar ketiga Suriah (SM, 07/02/2012). Alasan hilangnya sumber pendapatan dari perdagangan ekspor-impor tersebut ditengarai sebagai pendorong utama China dan Rusia untuk menolak susunan resolusi yang diajukan oleh Maroko.
Krisis Eropa dan Amerika
China dan Rusia adalah dua negara dengan perekonomian yang stabil bila dibandingkan yang terjadi dalam perekonomian Amerika dan banyak negara Eropa. George Soros menyebutkan, kalau kerusuhan di jalanan Amerika akibat krisis ekonomi akan terjadi (Daily Mail, 25/01/2012). Sementara krisis finansial yang terjadi di zora Euro masih terus membayangi berbagai negara Eropa dan telah memaksa beberapa pemimpin negara mengundurkan diri dari jabatannya. Bila ditilik, kondisi keuangan China cukup stabil dan tidak mengalami kelabilan finansial seperti yang dialami oleh umumnya negara barat tersebut. Kondisi keuangan Rusia sendiri diindikasikan mengalami kemunduran, walaupun tidak separah seperti yang dialami oleh zona Euro dan krisis perbankan Amerika.
Kemajuan ekonomi China dari industrialisasi yang sukses dan keberhasilan Vladimir Putin membebaskan Rusia dari hutang IMF memberikan implikasi menguatnya kedua negara tersebut di bidang ekonomi.
Persaingan antar negara
Kemunduran ekonomi oleh negara promotor draf resolusi sanksi terhadap Suriah sebenarnya menjadi salah satu indikator penting peta kekuatan antar negara. Peta persaingan antar negara ini muncul dalam berbagai aspek dan sangat dipengaruhi oleh kekuatan masing masing pemerintah. Dalam sejarahnya, salah satu persaingan yang membekas hingga kini adalah persaingan warisan era Perang Dingin antara blok negara Komunis dan blok negara Liberal.
Persaingan lama antara negara liberal di Barat dengan China dan Rusia di Timur mencapai bentuk terbaru. Penempatan rudal NATO di dekat perbatasan Rusia memicu reaksi berupa protes Rusia karena kekhawatiran ancaman keamanan terhadap negerinya. Perebutan pengaruh antara Eropa Barat dan Rusia juga sebenarnya masih terjadi secara kuat di berbagai negara Eropa Timur. Kasus invasi Rusia ke Georgia pada tahun 2008 adalah bukti bagaimana sebenarnya perebutan pengaruh antara Barat dan Rusia berlangsung panas di titik geografis tertentu.
Di sisi lain, China yang mengklaim Taiwan sebagai bagian dari Republik selalu bermusuhan dengan berbagai negara yang tidak mengakui kebijakan “satu China”. China sangat sensitif dan tegas bila menyangkut Taiwan. Di sisi lain militer Amerika Serikat dan NATO menjalin kerja sama erat dengan militer Taiwan untuk bersiaga menghadapi China. Mayoritas negara-negara Eropa pun mengakui eksistensi Taiwan sebagai negara yang terpisah dari China.
Persebaran prajurit Amerika Serikat dan NATO di berbagai pangkalan militer di Asia (Filipina, Taiwan, Jepang, Korea Selatan dll) juga mencerminkan bagaimana konstelasi yang berkembang di kawasan selalu dipenuhi dengan kewaspadaan. Hal ini dikarenakan penempatan barak militer tersebut adalah bukti tindakan preventif negara Barat terhadap kemungkinan terburuk yang terjadi di kawasan. Efektivitas pangkalan militer sebagai tindakan preventif ini terbukti dengan dipakainya barak militer di Kuwait dan Arab Saudi dalam invasi ke Afghanistan pada 2001 dan Irak pada 2003. Rusia sendiri semenjak pakta Warsawa berakhir tahun 1991 tidak memiliki aliansi militer sekuat NATO.
Suriah sendiri menjadi salah satu dari sedikit negara di kawasan Timur Tengah yang tidak termasuk di bawah pengaruh AS dan NATO. Tidak seperti negara tetangganya Irak, Arab Saudi, Kuwait dan Jordania. Suriah bisa dibilang negara yang kesepian di kawasan dan tidak terlalu akur dengan tetangganya.
Peta kekuatan geopolitis baru?
Kasus yang menimpa Suriah adalah sebuah bidak dalam percaturan politik dan kepentingan Internasional. Draf Resolusi DK PBB yang hampir selalu dibuat dan diputuskan berdasar kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya kini mendapat pesan keras dari Rusia dan China. Penolakan terhadap draf resolusi sanksi yang dilakukan kira-kira memiliki pesan “Kami juga mampu dan memiliki otoritas untuk mengatur apa yang terjadi di negara lain, tidak kalian saja”. Kehadiran China dan Rusia sebagai anggota tetap Dewan Keamanan memberikan kartu truf berupa hak veto yang mampu menggugurkan usaha negara lain melahirkan resolusi.
Melemahnya ekonomi yang terjadi di Dunia Barat dan menguatnya perekonomian (terutama) China dan Rusia dalam empat tahun terakhir memberikan peluang dua negara tersebut untuk menunjukkan taring di panggung internasional bernama PBB. Walaupun pemerintah China dan Rusia tidak bisa dibilang dekat, namun dalam hal kecurigaan oleh pihak Barat mereka bisa dikatakan senasib. Momentum keruntuhan ekonomi Amerika dan Eropa memberikan mereka peluang untuk unjuk otot di saat yang memungkinkan. Pesan yang disampaikan ini sebenarnya bisa dibaca sebagai sebuah peringatan dari China dan Rusia terhadap dominasi negara Barat yang semakin kuat dalam berbagai masalah internasional.
Isu Suriah sudah meninggalkan masalah akar rumput sebagai kasus pelanggaran HAM oleh pemerintah Bashaar Al-Asaad. Isu ini telah bergulir menjadi kartu judi pertaruhan perebutan pengaruh antar negara besar di PBB. Dalam hal ini tentu yang menjadi korban utama adalah para demonstran di jalanan di berbagai kota Suriah yang menuntut kemerdekaan dari rezim militer. Ribuan dari mereka telah tiada, dan kemungkinan besar akan bertambah karena pembatalan draft resolusi yang ada.