Total Tayangan Halaman

Selasa, 08 Februari 2011

MENATAP MASA LALU DARI MASA DEPAN


“Friends will be friends”
(British quotation)

Kali ini aku mengenang masa kecilku, masa sekolah dasar. Ketika jalinan syaraf otak belum membentuk sebuah simpul-simpul bernama rasionalitas. Semua terlihat begitu sederhana, putih dan hitam tanpa abu-abu. Simpel, itulah bagaimana pola pikir kita dulu. Teringat bagaimana setiap tugas menggambar selalu didominasi penampakan matahari terbit, jalan lurus, sawah membentang, tak lupa dua buah gunung yang menjadi objek utama. Itulah simbol kesederhanaan cara generasi kita berpikir pada era tersebut.
Masa itu tinggi badanku masih kurang dari 130cm, aku yang pendek dan tentu saja dalam pandangan sederhana, Arab. Masih sangat membekas bagaimana dulu ketika aku dengan grogi duduk ketika kelas satu. Hari pertama sekolah, Abah duduk di luar kelas, seperti kebanyakan orang tua lain yang menunggui hari perdana pendidikan sekolah dasar putra-putri mereka. Seorang wanita tua dengan rambut beruban, bertubuh gemuk besar agak pendek, berkacamata melangkah memasuki kelas. Dialah Bu Tum, guru pertama kami di SD Pati Lor 02 Pati. Setahun pertama suasana kelas belum terlalu cair, banyak yang belum mengenal. Masih ingat benar siapa yang duduk di sebelahku ketika itu, Radityo (Yoyo). Saat itu aku masih pemalu, sampai pernah “berkesenian” di ruang kelas saking malunya untuk meminta izin.
Tak terasa tahun kedua tiba, guru kali ini adalah seorang lelaki berkumis Madura yang tegas namun baik hati, Santrimo nama beliau, Pak San adalah panggilan sayang kami untuknya. Setahun bersama beliau aku lalui dengan penuh gelak tawa dan canda, di sisi lain juga banyak pembelajaran mengenai kehidupan yang kudapatkan dari beliau. Tahun ini juga aku dan semua kawanku menjadi saksi reformasi, kita masih belum mengerti apa-apa. Yang kami tahu, negara dalam keadaan genting. Tanpa mempedulikan negara, aku dan semua temanku tetap tertawa dan bercanda.
Setahun kemudian, aku memasuki kelas tiga. Guru yang mengajarku masih muda, berkulit putih dan cantik bernama Bu Erti. Walau ia masih muda dan cantik, namun beliau mengajar dengan tegas. Pada tahun ketiga inilah insiden beol di celana dialami oleh rekan kita (ha ha, tebak siapa).  
Empat tahun sejak momen di mana orang tua menunggui hari perdana sekolah, aku dan teman-teman mulai menunjukkan bibit kenakalan. Kenakalan kita, tak lain, tak bukan, adalah ramai di kelas. Bu Tatik yang menjadi guru kami kali ini. Beliau adalah seorang wanita berumur yang kurus, berkulit cokelat matang dan seringkali memasang muka cemberut. Menghadapi pola mengajar kelas empat, aku mengerti mengapa banyak mahasiswa yang tidak tahan terhadap pemerintahan (Alm) Soeharto yang represif.
Waktu menggiring kita memasuki ruang kelas 5, dan bertemu dengan rockstar yang sebenarnya. Beliau adalah guru yang bernama Bu Pujo, wanita yang memiliki mimik muka tentara wanita namun memiliki aura pengayom. Beliau mengajar kita dengan tegas, namun di sisi lain beliau juga sering menunjukkan rasa sayang terhadap kami. Walaupun Bu Pujo sering marah di dalam kelas, beliau membuatku mengerti bagaimana tipe guru yang baik,. Semua kemarahannya jelas ditujukan untuk meredakan kebandelan 42 anak manusia yang entah kenapa ditakdirkan Allah  SWT sangat sulit diatur.
Entah sudah berapa guru yang tidak tahan mengajar ketika kami kelas lima, hingga akhirnya banyak guru keluar kelas tak tahan melawan takdir susah diatur yang ditimpakan kepada kami. Tak seperti guru lain yang memilih menghindari mengajar kelas kami, Bu Pujo bertahan, bersabar, beristighfar dan terus mengajar dengan maksud menjejalkan ransum ilmu ke otakku dan kawan-kawan yang bandel untuk menghadapi masa depan. 
Kenakalan angkatan kami tak dinyana memberikan efek di luar dugaan, guru yang seharusnya mengajar kami di kelas enam menyatakan tidak sanggup. Akhirnya menjelang masa pubertas, aku dan kawan-kawan kembali diajar oleh sang rockstar.
Bu Pujo menjadi guru dan ibu saat kami di kelas enam, ia bersabar menghadapi kenakalan kami setahun lagi, meredakan konflik-konflik kecil di antara kami, dan beliau yang paling keras berusaha mengupayakan kelulusan kami.  Setahun terakhir, intensitas kenakalan kita berkurang, teror ujian akhir membayangi tiga bulan terakhir di sekolah.
Hingga akhirnya, kita semua lulus.  
Enam tahun kujalani di sekolah dasar itu, dengan 42 manusia yang menjadi saksi perkembangan satu sama lain.
Irma yang entah kenapa disebut-sebut sebagai pasanganku, tuduhan itu berulang selama enam tahun tanpa bukti yang jelas
Trio Mbeling Itang, Galih, dan Risky yang hampir selalu dengan kompak berbuat onar bersama.
Trio raksasa Solan, Heri, dan Adi Bagus yang membuat kelas selalu ceria dengan keanehannya
Grup anak rajin yang didominasi Arum, Febri, Linda, Lala, Aliyah, Nova, Linda
Aan dan Adi Wibisono yang seperti saudara
Yoyo, yang salah satu bagian tubuhnya sering menjadi bahan ejekan
Diatma dan Ragil yang kurus dan selalu ceria
Pupus yang senyumnya khas
Tata dan Syaiful, duo cerdas yang selalu sukses merampok nilai bagus
Skandal Cinta Aan, Rahmat, dan tentu saja pendatang baru, Karlina
Rifky dan Puti yang sering ceplas ceplos dan selalu dalam antusiasme tinggi
Rezha Suryendra yang keahliannya dalam bermain air tak perlu diragukan lagi
Ayu yang sudah tomboy sejak dalam kandungan
Hima yang bibit cerdas cermat anatomi tubuh sudah bisa dikenali sejak kelas 3 SD
Bagus Indra dan Greda, dua kawan yang kompak
Arfian yang walaupun setiap berangkat sekolah mandi, tetap saja terlihat seperti belum mandi
Iskandar yang skandal setelah sunatnya akan sulit terlupakan
Chandra yang pelit
Wiwid yang lugu
Dan tentu saja aku, yang memegang rekor paling sering pipis selama menempuh enam tahun pendidikan. (maaf bagi yang namanya belum disebut)
Belum pernah sekalipun aku membayangkan keadaan masa depan di saat itu, otakku belum mampu menjamah keadaan 8 tahun yang akan datang. Sel-sel otak zaman itu terlalu sesak oleh materi game, kartun doraemon, komik, pelajaran, dan tentu saja berbagai cita-cita umum seperti yang buku Pendidikan Kewarganegaraan ajarkan.
Hingga akhirnya delapan tahun itu terlewati, dan kini aku teringat masa-masa itu. Betapa ceria hari-hari itu, betapa lugunya cara kita berpikir, betapa indahnya berbagai kenangan yang kita goreskan bersama.
Kini kita telah beranjak dewasa, kita semua akan berpencar ke berbagai penjuru bumi untuk meraih mimpi. Semoga kita semua tidak lupa, fondasi dasar untuk meraih mimpi yang kita inginkan dibentuk ketika masa Sekolah Dasar. Karena menurut Tata, "kita adalah kita selamanya…" J


Sampai jumpa kawanku
Semoga kita selalu, menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
(Sheila On 7, Kisah klasik untuk masa depan)

N.B : Banyak orang bilang SMA adalah masa-masa terindah, ha ha, kasihan sekali mereka, karena sekolah bersama angkatan 96 di SD Pati Lor 2 tidak kalah indahnya.