Total Tayangan Halaman

Minggu, 03 April 2011

HIKAYAT KERAJAAN GRONUS

Pada sebuah masa, terdapat sebuah negeri yang kecil dan sederhana bernama Gronus. Kerajaan ini memiliki keunikan, di mana penghuninya hanya tinggal sementara untuk belajar. Kerajaan ini dihuni oleh ratusan penduduk saja. Aktivitas penduduknya setiap hari habis untuk bekerja dan belajar. Seperti pada umumnya, sebuah kerajaan pasti memiliki raja. Tak seperti kerajaan pada umumnya yang bersifat monarki, sebaliknya Gronus adalah kerajaan yang pro demokrasi. Pergantian raja berdasar pada pemilihan umum, tidak keturunan. Seorang rakyat biasa mampu menjadi raja apabila mendapat dukungan dari sebagian rakyat lainnya. Sungguh kerajaan yang maju pada zamannya.
Gronus memiliki raja bijaksana bernama Hitam. Ia adalah seorang raja yang baik, bijak, mampu membawa kerajaan ke arah yang lebih baik. Saat ini, Hitam sedang gelisah memikirkan penggantinya. Masa kepemimpinannya akan segera berakhir. Ia tak sabar segera beralih profesi menjadi pedagang monster kecil berbulu tajam. Hitam gundah karena pendaftaran calon pengganti raja sepi peminat. Segala lapisan rakyat tak berminat menanggung beban sebagai raja. Akhirnya Hitam memaksa sebuah golongan pembelajar kedelapan untuk mengeluarkan calon raja.  
Golongan pembelajar kedelapan adalah rakyat yang mendapat giliran memegang tampuk kekuasaan. Golongan inipun mempersiapkan diri menyambut ajakan raja Hitam yang bijaksana. Pembelajar kedelapan memiliki banyak karakter menonjol, ada lelaki gondrong, gadis cerewet, lelaki petarung, wanita alim, lelaki pelukis cahaya, gadis aneh, gadis narsis, pria unik, gadis kaya, lelaki petualang, bahkan pembunuh berantai dan berbagai macam karakter unik lain. Mereka semua berkumpul untuk menentukan siapa raja selanjutnya. Awal pertemuan merekomendasikan lelaki gondrong, wanita cadas, dan lelaki fotografer sebagai calon. Perdebatan dalam pertemuan  berlangsung sangat alot. Lelaki gondrong yang menjadi kandidat kuat menolak dicalonkan, begitu pula lelaki pelukis cahaya. Padahal di luar tiga karakter tersebut dianggap tidak memiliki kans untuk menang.
Akhirnya setelah sekian lama rapat deadlock, dibuatlah komposisi calon raja alternatif. Ketiga calon tersebut adalah artis keren, wanita cadas dan lelaki buruk rupa. Lelaki buruk rupa ini sama sekali tidak menduga namanya disebut dalam bursa nama calon raja. Ia terkejut dan menolak dengan pertimbangan ia telah bekerja sebagai cleaning service di sebuah warung gosip dan tukang pijit di perkumpulan pelukis cahaya jalanan. Reaksi kawan-kawan si buruk rupa sungguh di luar dugaan, mereka menjadikan pengalamannya bekerja sebagai alasan kelayakannya masuk bursa. Pada akhirnya si buruk rupa mengalah pada tuntutan publik, ia yakin kalah pamor dengan artis keren dan wanita cadas. Ia sadar posisinya sekarang hanyalah penggembira dari sebuah proses demokrasi kerajaan.
Hingga akhirnya diumumkan nama resmi calon raja diumumkan, si buruk rupa sangat terkejut, gambar mukanya yang jelek terpasang dengan wanita cadas dan lelaki berjenggot. Artis keren tidak ada dalam bursa resmi!. Setelah diusut, ia sengaja mengundurkan diri tanpa sepengetahuan lelaki buruk rupa dan wanita cadas, sungguh culas. Kemelut mulai lahir dalam sanubari lelaki buruk rupa, ia merasa sesuatu di luar agenda tahunan buatan akan menimpanya. Otak bulus lelaki buruk rupa segera bekerja mencari akal agar kekalahan menimpanya. Di sisi lain, rakyat Gronus mulai bergairah menyambut hadirnya pemilihan raja baru, spekulasi menyeruak di antara mereka tentang ketiga kandidat.
Masa memperkenalkan diri tiba, lelaki buruk rupa merasa inilah saat tepat meluncurkan taktik liciknya. Lelaki berjenggot sibuk berusaha memenangkan diri, sementara wanita cadas cuek dan tak peduli dengan masa memperkenalkan diri. Di sisi lain lelaki buruk rupa melancarkan taktik mendukung pencalonan wanita cadas. Ia merasa taktik menggalang dukungan untuk lawan akan membuatnya kalah. Ia amat bersemangat menjalani rencana ini karena yakin akan kesuksesan akal bulusnya.  
Akhirnya tiba juga masa pidato perkenalan, sebuah acara di mana ketiga kandidat dihadapkan pada rakyat agar bisa dinilai secara langsung. Ratusan rakyat Gronus berkumpul mendengarkan calon pengganti raja mereka. Inilah saat tepat untuk memperburuk citra dirinya sendiri, pikir lelaki buruk rupa sambil tersenyum licik.
Acara dimulai, Lelaki berjenggot dengan meyakinkan menjawab pertanyaan rakyat mengenai berbagai rencananya. Wanita cadas, dengan ciri khasnya menjawab setiap pertanyaan dengan tegas dan terorganisir. Akhirnya tiba giliran lelaki buruk rupa menjawab pertanyaan, ia sengaja menjawab dengan tidak meyakinkan dan bertele-tele dan berbelit-belit dan berpikir lama dan jauh dari solutif. Publik tampak tidak puas dengan jawaban lelaki buruk rupa, ia senang bukan kepalang melihat kekecewaan ini.
 Lelaki buruk rupa bahagia, ia merasa kekalahan tinggal diraih. Baginya kalah dalam pemilihan adalah menang, begitu pula sebaliknya. Setelah beberapa waktu, tibalah hari pemilihan raja baru, lelaki buruk rupa tegang bukan kepalang. Walaupun tegang, ia khaqul yaqin kekalahan akan diraih. Sore hari penghitungan suara tiba, ia sengaja berdiam diri di gubuk. Lelaki buruk rupa takut mendatangi penghitungan suara.
Ketika lelaki buruk rupa sibuk melamun, seekor merpati pos datang membawa pesan di kakinya. Lelaki buruk rupa pucat melihat merpati yang tiba di saat penghitungan suara. Perlahan ia membuka perkamen kertas dari kaki merpati, terlihat sebuah kata “SELAMAT!”. Pucat sekali lelaki buruk rupa membaca tulisan itu, ia mengenali tulisan wanita cadas.
Keesokan harinya, ketika ia tiba di area kerajaan ia mengerti kalau ia menang. Alasan utama kemenangannya adalah karena pada saat pemilihan rakyat mendengarkan suara dewa yang agung dari langit. Suara dewa tersebut menyebutkan wanita cadas yang perkasa harus memimpin penaklukan kerajaan hijau di negeri seberang, pilihlah saja lelaki buruk rupa sebagai raja. Lelaki buruk rupa terkejut, namun ia menyadari keterkejutannya tak bisa memutar kembali waktu.
Akhirnya tibalah saat pelantikan raja baru, penyerahan kekuasaan dari raja hitam ke lelaki buruk rupa berjalan mulus. Lelaki buruk rupa sadar, kini ia menanggung sebuah tanggung jawab yang tak ringan. Walaupun mungkin keterpilihannya bersifat aksidental, lelaki buruk rupa tahu tidak boleh ada waktu terbuang untuk menikmati kekalahan. Ia sangat tahu tak bisa mengembalikan kembali jam yang telah berlalu. Yang akan dilakukannya sekarang adalah menatap masa depan, bekerja dan berusaha maksimal untuk memberikan pelayanan terbaik bagi rakyatnya

Rabu, 16 Maret 2011

PERJUANGAN PETANI KULON PROGO MELAWAN ARISTOKRASI

“Bertani atau mati, tolak tambang besi”
(Manifesto perjuangan petani Kulon Progo)

Sore itu beberapa petani datang ke B21, pakaian mereka lusuh sederhana. Kedatangan mereka ke basis pers mahasiswa UGM dengan niat menceritakan kesusahan yang sedang dihadapi. Mereka duduk beralas tikar sederhana di depan rumah sederhana kami. Di sekelilingnya, puluhan mahasiswa duduk serius mendengarkan keluh kesah yang mereka sampaikan. Cerita beberapa petani yang datang sore ini, mewakili duka ribuan petani pesisir Kulon Progo dalam melakukan perlawanan. Mendengarkan kisah mereka, membuatku merasa muak dan jijik terhadap pola pemerintahan yang ada.
Kisah perlawanan dimulai ketika rencana tambang pasir besi dilahirkan. Warga Kulon Progo yang hidup adem ayem dikejutkan dengan kedatangan perusahaan tambang pasir besi (PT. JMM) untuk merebut lahan mereka. Rencana pertambangan ini menyulut bom waktu kerusuhan sosial.
Akar permasalahan adalah perebutan tanah antara penguasa, perusahaan dan rakyat. Sekilas akan saya jelaskan sedikit (berdasar sedikit pengetahuan saya, CMIIW) mengenai tanah. Menurut Undang-Undang, tanah tidak bersertifikat dianggap milik negara, kecuali sudah ada warga yang menggunakan tanah tersebut selama minimal 20 tahun. Bila ada warga yang menggunakan selama 20 tahun, maka ia berhak mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya. Salah satu keistimewaan Jogja selain menyangkut pusat kekuasaan adalah status tanah. Tanah tidak bersertifikat dianggap milik dua kerajaan yang ada, Kasultanan atau Pakualaman. Maka ada sebutan Sultan Ground atau Pakualaman Ground untuk banyak area di provinsi Yogyakarta. Petani pesisir Kulon Progo amat terkejut ketika lahan yang digarap sejak zaman Jepang (lebih dari 60 tahun) diklaim sebagai Pakualaman Ground. Seorang ibu-ibu bercerita, ketika terjadi mediasi antara warga dengan wakil Pakualaman sempat terjadi dialog, seorang petani menanyakan bukti kepemilikan Pakualaman terhadap lahan. Wakil Pakualaman menjawab tanah tersebut milik Pakualaman berdasar perjanjian Gianti.  
Warga Kulon Progo yang sudah meninggali wilayah dan menggarap lahan selama lebih dari 60 tahun (dan memiliki sertifikat) marah dengan adanya rencana pertambangan. Tanah yang mereka garap sebagai sumber penghidupan terancam hilang terganti area tambang. Bagi seorang petani, kehilangan lahan berarti kehilangan pekerjaan, kehilangan pekerjaan berarti hilangnya penghasilan, hilangnya penghasilan berarti keluarga terancam kekurangan pangan. Konflik terjadi.
Demi meraih kemenangan, PT.JMM disponsori pusat aristokrasi melakukan berbagai upaya memenangkan tambang. Upaya dilakukan dengan berbagai metode, penggunaan aparat, menelikung Undang-Undang, devide et impera terhadap masyarakat, ormas pemuda bayaran, ancaman psikologis, dukungan Pemkab dan serangan fisik (Kedaulatan rakyat, 27/8/08). Sementara di sisi lain para petani bergerilya menggempur berbagai kepalsuan dan cacat fondasi hukum PT.JMM, berdemo, memberitakan penjajahan yang dialami, dan tentu saja mempertahankan diri terhadap serangan fisik yang terjadi. Warga mengorganisir diri, membentuk Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP) sebagai basis perlawanan. Mereka berniat tidak akan mau terlibat diskusi dengan stake holder selama masih ada upaya menjadikan lahan pertanian sebagai wilayah tambang.
Perjuangan melawan kekuasaan tidak mudah, lima tahun sudah perlawanan terjadi, belum ada kejelasan mengenai nasib mereka. “Ini tinggal waktu meletus mas…” ujar salah satu petani mengungkapkan eskalasi konflik. Dipojokkan dari berbagai segi oleh aristokrasi yang memiliki jaringan kuat, berbagai upaya yang dilakukan nihil solusi yang berpihak pada petani. Kalau pemerintah tidak segera menghentikan upaya penambangan, dikhawatirkan konflik fisik akan terjadi. 
Lima tahun berjuang (1 April 2011 nanti tepat tahun kelima) aspirasi mereka tak kunjung didengar. Alasan utama mereka untuk melakukan perlawanan satu, mereka hanya ingin bertani. Para petani pesisir Kulon Progo hanya ingin menggarap tanah mereka agar bisa dipanen dan hasilnya untuk memberi makan keluarga. Namun entah mengapa orang-orang di pusat lingkar kekuasaan yang mampu meloloskan permintaan mereka tak mau mengabulkannya. Nuansa muak terhadap pusat aristokrasi sebagai sponsor perusahaan tambang terasa sangat kuat selama diskusi.
Wajah mereka lugu, baju mereka lusuh, rokok mereka murah, namun semangat yang ada dalam diri masing-masing petani itu sekuat baja. Mereka bertekad akan mempertahankan kedaulatan tanah dari penjarahan sepihak oleh aristokrasi berperisai pembangunan semu. Cangkul para petani akan terus menghantam perisai pembangunan, waktu yang akan menjawab, kemenangan cangkul petani atau kejayaan perisai penguasa.
Semoga petani Kulon Progo diberi kesabaran dan kemenangan. 

Selasa, 08 Februari 2011

MENATAP MASA LALU DARI MASA DEPAN


“Friends will be friends”
(British quotation)

Kali ini aku mengenang masa kecilku, masa sekolah dasar. Ketika jalinan syaraf otak belum membentuk sebuah simpul-simpul bernama rasionalitas. Semua terlihat begitu sederhana, putih dan hitam tanpa abu-abu. Simpel, itulah bagaimana pola pikir kita dulu. Teringat bagaimana setiap tugas menggambar selalu didominasi penampakan matahari terbit, jalan lurus, sawah membentang, tak lupa dua buah gunung yang menjadi objek utama. Itulah simbol kesederhanaan cara generasi kita berpikir pada era tersebut.
Masa itu tinggi badanku masih kurang dari 130cm, aku yang pendek dan tentu saja dalam pandangan sederhana, Arab. Masih sangat membekas bagaimana dulu ketika aku dengan grogi duduk ketika kelas satu. Hari pertama sekolah, Abah duduk di luar kelas, seperti kebanyakan orang tua lain yang menunggui hari perdana pendidikan sekolah dasar putra-putri mereka. Seorang wanita tua dengan rambut beruban, bertubuh gemuk besar agak pendek, berkacamata melangkah memasuki kelas. Dialah Bu Tum, guru pertama kami di SD Pati Lor 02 Pati. Setahun pertama suasana kelas belum terlalu cair, banyak yang belum mengenal. Masih ingat benar siapa yang duduk di sebelahku ketika itu, Radityo (Yoyo). Saat itu aku masih pemalu, sampai pernah “berkesenian” di ruang kelas saking malunya untuk meminta izin.
Tak terasa tahun kedua tiba, guru kali ini adalah seorang lelaki berkumis Madura yang tegas namun baik hati, Santrimo nama beliau, Pak San adalah panggilan sayang kami untuknya. Setahun bersama beliau aku lalui dengan penuh gelak tawa dan canda, di sisi lain juga banyak pembelajaran mengenai kehidupan yang kudapatkan dari beliau. Tahun ini juga aku dan semua kawanku menjadi saksi reformasi, kita masih belum mengerti apa-apa. Yang kami tahu, negara dalam keadaan genting. Tanpa mempedulikan negara, aku dan semua temanku tetap tertawa dan bercanda.
Setahun kemudian, aku memasuki kelas tiga. Guru yang mengajarku masih muda, berkulit putih dan cantik bernama Bu Erti. Walau ia masih muda dan cantik, namun beliau mengajar dengan tegas. Pada tahun ketiga inilah insiden beol di celana dialami oleh rekan kita (ha ha, tebak siapa).  
Empat tahun sejak momen di mana orang tua menunggui hari perdana sekolah, aku dan teman-teman mulai menunjukkan bibit kenakalan. Kenakalan kita, tak lain, tak bukan, adalah ramai di kelas. Bu Tatik yang menjadi guru kami kali ini. Beliau adalah seorang wanita berumur yang kurus, berkulit cokelat matang dan seringkali memasang muka cemberut. Menghadapi pola mengajar kelas empat, aku mengerti mengapa banyak mahasiswa yang tidak tahan terhadap pemerintahan (Alm) Soeharto yang represif.
Waktu menggiring kita memasuki ruang kelas 5, dan bertemu dengan rockstar yang sebenarnya. Beliau adalah guru yang bernama Bu Pujo, wanita yang memiliki mimik muka tentara wanita namun memiliki aura pengayom. Beliau mengajar kita dengan tegas, namun di sisi lain beliau juga sering menunjukkan rasa sayang terhadap kami. Walaupun Bu Pujo sering marah di dalam kelas, beliau membuatku mengerti bagaimana tipe guru yang baik,. Semua kemarahannya jelas ditujukan untuk meredakan kebandelan 42 anak manusia yang entah kenapa ditakdirkan Allah  SWT sangat sulit diatur.
Entah sudah berapa guru yang tidak tahan mengajar ketika kami kelas lima, hingga akhirnya banyak guru keluar kelas tak tahan melawan takdir susah diatur yang ditimpakan kepada kami. Tak seperti guru lain yang memilih menghindari mengajar kelas kami, Bu Pujo bertahan, bersabar, beristighfar dan terus mengajar dengan maksud menjejalkan ransum ilmu ke otakku dan kawan-kawan yang bandel untuk menghadapi masa depan. 
Kenakalan angkatan kami tak dinyana memberikan efek di luar dugaan, guru yang seharusnya mengajar kami di kelas enam menyatakan tidak sanggup. Akhirnya menjelang masa pubertas, aku dan kawan-kawan kembali diajar oleh sang rockstar.
Bu Pujo menjadi guru dan ibu saat kami di kelas enam, ia bersabar menghadapi kenakalan kami setahun lagi, meredakan konflik-konflik kecil di antara kami, dan beliau yang paling keras berusaha mengupayakan kelulusan kami.  Setahun terakhir, intensitas kenakalan kita berkurang, teror ujian akhir membayangi tiga bulan terakhir di sekolah.
Hingga akhirnya, kita semua lulus.  
Enam tahun kujalani di sekolah dasar itu, dengan 42 manusia yang menjadi saksi perkembangan satu sama lain.
Irma yang entah kenapa disebut-sebut sebagai pasanganku, tuduhan itu berulang selama enam tahun tanpa bukti yang jelas
Trio Mbeling Itang, Galih, dan Risky yang hampir selalu dengan kompak berbuat onar bersama.
Trio raksasa Solan, Heri, dan Adi Bagus yang membuat kelas selalu ceria dengan keanehannya
Grup anak rajin yang didominasi Arum, Febri, Linda, Lala, Aliyah, Nova, Linda
Aan dan Adi Wibisono yang seperti saudara
Yoyo, yang salah satu bagian tubuhnya sering menjadi bahan ejekan
Diatma dan Ragil yang kurus dan selalu ceria
Pupus yang senyumnya khas
Tata dan Syaiful, duo cerdas yang selalu sukses merampok nilai bagus
Skandal Cinta Aan, Rahmat, dan tentu saja pendatang baru, Karlina
Rifky dan Puti yang sering ceplas ceplos dan selalu dalam antusiasme tinggi
Rezha Suryendra yang keahliannya dalam bermain air tak perlu diragukan lagi
Ayu yang sudah tomboy sejak dalam kandungan
Hima yang bibit cerdas cermat anatomi tubuh sudah bisa dikenali sejak kelas 3 SD
Bagus Indra dan Greda, dua kawan yang kompak
Arfian yang walaupun setiap berangkat sekolah mandi, tetap saja terlihat seperti belum mandi
Iskandar yang skandal setelah sunatnya akan sulit terlupakan
Chandra yang pelit
Wiwid yang lugu
Dan tentu saja aku, yang memegang rekor paling sering pipis selama menempuh enam tahun pendidikan. (maaf bagi yang namanya belum disebut)
Belum pernah sekalipun aku membayangkan keadaan masa depan di saat itu, otakku belum mampu menjamah keadaan 8 tahun yang akan datang. Sel-sel otak zaman itu terlalu sesak oleh materi game, kartun doraemon, komik, pelajaran, dan tentu saja berbagai cita-cita umum seperti yang buku Pendidikan Kewarganegaraan ajarkan.
Hingga akhirnya delapan tahun itu terlewati, dan kini aku teringat masa-masa itu. Betapa ceria hari-hari itu, betapa lugunya cara kita berpikir, betapa indahnya berbagai kenangan yang kita goreskan bersama.
Kini kita telah beranjak dewasa, kita semua akan berpencar ke berbagai penjuru bumi untuk meraih mimpi. Semoga kita semua tidak lupa, fondasi dasar untuk meraih mimpi yang kita inginkan dibentuk ketika masa Sekolah Dasar. Karena menurut Tata, "kita adalah kita selamanya…" J


Sampai jumpa kawanku
Semoga kita selalu, menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
(Sheila On 7, Kisah klasik untuk masa depan)

N.B : Banyak orang bilang SMA adalah masa-masa terindah, ha ha, kasihan sekali mereka, karena sekolah bersama angkatan 96 di SD Pati Lor 2 tidak kalah indahnya.

Kamis, 20 Januari 2011

KONSUMERISME MENGGURITA DI KALANGAN MAHASISWA


Duhai korban keganasan peliknya kehidupan urban
Awal dari sebuah kepuasan, kadang menghadirkan kebanggaan, dari keangkuhan
Atas bujukan setan, hasrat yang dijebak zaman
Kita belanja terus sampai mati
Band :Efek Rumah Kaca
Judul :Belanja Terus Sampai Mati

Bila kita perhatikan, pusat perbelanjaan kini semakin menjamur di mana-mana. Tempat perbelanjaan itu lahir dan tumbuh satu demi satu. Hampir setiap hari kebanyakan pusat perbelanjaan tidak pernah terlihat sepi. Mulai dari Senin hari pertama kerja hingga Minggu hari untuk beribadah bagi sebagian umat beragama di Indonesia. Semua orang berbelanja berbagai macam kebutuhan, baik benda maupun jasa.
Konsumerisme adalah sebuah gaya hidup di mana berbelanja menjadi kebutuhan utama seorang individu. Bagi seseorang yang hidupnya konsumtif, tidak penting lagi apakah objek belanja yang mereka tuju benar-benar dibutuhkan. Bagi mereka, kegiatan berbelanja sendiri lebih penting daripada apa objek tujuannya.
Ada beberapa ciri yang menandakan seseorang konsumtif. Pertama mereka menjadikan berbelanja menjadi salah satu pemuas kebutuhan batin. Kedua, objek belanja seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Ketiga, faktor eksistensi dan pengakuan di antara lingkungan sosial di sekelilingnya kerapkali menjadi pendorong kegiatan berbelanja yang dilakukan. Bila seseorang yang melakukan kegiatan belanja merasa memiliki kriteria yang baru saja disebutkan, bisa dipastikan ia adalah orang yang konsumtif.
Kegiatan konsumsi sendiri dipengaruhi oleh banyak hal. Dari sekian banyak hal, iklan adalah salah satu pemberi efek yang vital. Kini dalam sehari (terutama di kota besar) iklan akan terus menemani sejak kita membuka mata di pagi hari hingga memejamkan mata di malam hari. Perusahaan berupaya menarik konsumen melalui berbagai media dan cara.Televisi yang menjadi salah satu media paling efektif pengenalan sebuah produk menjadi ujung tombak periklanan. Papan billboard besar sudah narsis bertahan 24 jam tanpa bosan di sudut yang sama menunggu lirikan mata pengguna jalan. Media cetaksebagai ajang merayu konsumenmenjadi ajang pertempuran berbagai perusahaan.
Selain iklan yang ditampilkan perusahaan, trend juga  berpengaruh terhadap konsumerisme publik. Contoh paling sederhana bisa kita lihat dari maraknya produk Blackberry di pasaran. Faktor prestige bagi pengguna adalah hal yang paling menunjang penjualan telepon seluler Blackberry di Indonesia. Akan ada perbedaan status sosial ketika seseorang memiliki ponsel bermerk Nokia dan Blackberry. Tentunya faktor trend ini biasanya temporer dan pada suatu saat nanti akan tergantikan oleh produk lainnya. Hal ini menjadi normal ketika perusahaan menerbitkan produk baru yang menggeser posisi produk sebelumnya, membuatnya jadi lawas tentunya.
Saya teringat ketika zaman SMA dulu memiliki teman bernama Rundi. Ia memiliki sepeda motor Supra X keluaran tahun 2000 awal. Karena sepeda motor yang dimiliki tergolong ketinggalan zaman, Rundi selalu mendapat ejekan/sindiran dari teman-temannya karena dianggap tidak mampu membeli motor baru. Ia pun sering bercerita kalau dirinya minder dengan kendaraan roda dua yang dimiliki. Akhirnya, pada suatu hari ia memamerkan sepeda motor Mega Pro terbarunya. Rundi berkata kalau ayahnya membelikan sepeda motor dengan cara kredit dan banyak anggaran penting dalam keluarga yang dipangkas untuk membeli sepeda motor baru. Rundi sama sekali tidak keberatan dengan berbagai pemangkasan anggaran penting di sektor lain rumah tangganya.
Suatu hari saya bertandang ke daerah rumah Rundi yang notabene wilayah dengan mayoritas pekerjaan utama bertani. Sepanjang perjalanan amat banyak terlihat rumah reyot, bobrok hampir ambruk yang memenuhi kriteria tidak layak huni. Namun, di kebanyakan rumah selalu ada sepeda motor keluaran terbaru seperti yang ditayangkan iklan di televisi. Ketika sampai di rumah Rundi, ia bercerita kalau mayoritas penduduk membeli sepeda motor dengan cara kredit. Ketika petani tidak mampu membayar dan dalam kondisi terpojok, mereka akan menjual tanah untuk  membayar tunggakan kredit. Mengapa mereka membeli sepeda motor terbaru dibanding membetulkan rumah? atau rela menjual sumber penghidupan berupa tanah? jawabannya satu, prestige. Dari studi kecil-kecilan yang saya lakukan, indikator status sosial seseorang di daerah Rundi ditentukan oleh sepeda motor yang ia gunakan. Kini Rundi putus kuliah karena orang tuanya tidak memiliki biaya, ia memilih berhenti menempuh studi sarjana daripada menjual sepeda motor untuk membiayai pendidikannya sendiri .
Zona paling berbahaya dari konsumerisme di era kini adalah, semakin banyak orang yang tidak menyadari kalau mereka konsumtif. Di tengah jerat kapital yang semakin erat mencengkeram, banyak penduduk republik kita tercinta yang tidak menyadari kalau mereka sedang terseret dalam sebuah barisan zombie oleh tangan-tangan korporasi yang tak disadari.
Zombie adalah istilah bagi manusia yang sudah mati, namun tetap hidup dan memangsa manusia lain. Kenapa zombie? Karena zombie tidak dibimbing oleh akal ketika bertindak, makhluk itu dibimbing oleh insting untuk terus memangsa manusia lain dan ia akan terus kelaparan. Kita berfantasi secara liar saja kalau orang-orang konsumtif tidak menyadari ketika berbelanja mereka tidak dibimbing oleh akal sehat untuk memilih sesuatu berdasar kebutuhan. Mereka dibimbing oleh insting seberapa besarprestige yang didapatkan ketika berbelanja. Sama seperti zombie, mereka akan terus memangsa tanpa henti. Sama seperti lirik lagu Efek Rumah Kaca yang saya kutip di awal artikel, “Belanja terus sampai mati”.
Status agen perubahan diperoleh mahasiswa karena mereka dianggap sebagai bagian masyarakat terdidik yang tidak terkait dengan berbagai afiliasi yang berhubungan dengan kekuasaan. Status agen perubahan sebenarnya bukan tanggung jawab yang ringan, mahasiswa memiliki beban berat di pundak untuk mengkritisi berbagai kebijakan pemangku kebijakan yang ada. Melalui kegiatan mengkritisi inilah, mahasiswa diharapkan ketika bertindak sebagai pemangku kebijakan di masa depan mampu mengeluarkan keputusan-keputusan yang berkaitan terhadap publik dengan tepat.
Namun ironis ketika status agen perubahan ditelantarkan oleh mayoritas mahasiswa yang ada di perguruan tinggi saat ini. Ya, kebanyakan mahasiswa lebih memilih untuk mengejar kepuasan pribadi atas barang-barang yang digunakan daripada bersusah payah memikirkan keadaan masyarakat di sekitarnya. Topik krusial yang berkaitan dengan masyarakat lebih hangat dijadikan sebagai obrolan ketika nongkrong bersama kawan-kawan sambil bercanda. Jarang sekali ada keinginan untuk bertindak terhadap berbagai isu penting, yang bahkan berkaitan dengan diri mereka sebagai mahasiswa atau warga negara. Ada kecenderungan untuk memasrahkan pemangku kebijakan melakukan sebuah keputusan tanpa mengkritisi, tanda yang tidak terlalu baik untuk seorang agen perubahan.
Hal paling sederhana yang bisa kita perhatikan adalah melalui pengamatan kegiatan diskusi di kampus. Mayoritas mahasiswa cenderung enggan mengikuti kegiatan diskusi. Hal ini bisa kita lihat ketika diadakannya acara diskusi yang diadakan di sekitar lingkungan kampus. Bisa dipastikan pesertanya sangat sedikit. Sementarabila kita datang pada malam hari untuk menghadiri sebuah pesta yang diadakan di sebuah club malam, keramaian yang didominasi kalangan mahasiswa adalah hal yang pasti. Padahal tidak sedikit yang menghamburkan biaya pendidikan selama satu semester hanya dalam waktu semalam. Ya, mahasiswa kini sudah merasa capek menghadapi tugas dan refreshing sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk memikirkan nasib masyarakatnya.
Di media massa sering sering diberitakan terjadinya demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Berdasar pengamatan lingkungan kampus, saya yakin bila dibandingkan dengan jumlah total mahasiswa, mereka yang terlibat dalam pergerakan adalah minoritas. Yang lebih menyedihkan, beberapa pergerakan mahasiswa kini terlihat cenderung dekat terhadap afiliasi kekuasaan.
Apa hubungan rendahnya kepedulian mayoritas mahasiswa terhadap bangsanya dengan konsumerisme?. Dua hal tersebut berkaitan erat, keengganan mahasiswa untuk terlibat dalam berbagai pergerakan bisa dikaitkan karena mereka telah berada di zona nyaman dengan konsumerisme yang membelai dengan manja. Mereka terlalu sibuk mengejar eksistensi dengan melakukan berbagai hal yang menunjang pengakuan sehingga menganggap mengkritisi kebijakan adalah hal yang tidak penting.
Mereka bahkan lupa betapa produk dari beberapa korporasi yang mereka gunakan terlibat skandal yang merugikan negara dalam nominal cukup besar. Bisa kita ambil contoh terhadap larisnya sebuah produk provider komunikasi CDMA berinisial E yang memiliki kaitan dengan korporasi besar milik petinggi sebuah partai berwarna kuning. Walaupun perusahaan induk dari produk komunikasi tersebut diindikasikan kuat melakukan pelanggaran pembayaran pajak, banyak mahasiswa terlihat tidak peduli dan terus memberi untung perusahaan dengan cara menggunakan provider tersebut. Mereka tidak peduli karena tidak dirugikan secara langsung oleh perusahaan tersebut. Sebaliknya mereka merasa untung karena mendapatkan harga murah untuk biaya komunikasi. Padahal mendukung perusahaan nakal sama dengan membantu mengurangi pendapatan negara.
Hal yang menarik dan unik bisa kita lihat melalui survey alokasi belanja bulanan mahasiswa. Menurut survey yang pernah saya lakukan, mayoritas uang bulanan mahasiswa di lingkungan UGM dihabiskan untuk keperluan makan tiap hari, bensin, hiburan (menyaksikan bioskop, jalan-jalan), dan pulsa. Sementara rata-rata uang yang dianggarkan untuk keperluan membeli buku mayoritas kurang dari 15%, itupun kebanyakan untuk membeli buku popular dan lebih sedikit lagi alokasi anggaran untuk membeli buku yang menunjang keperluan studi. Amat menarik ketika buku sebagai penunjang kegaitan perkuliahan tidak lagi masuk dalam prioritas anggaran belanja mayoritas mahasiswa.
Contoh lain adalah penggunaan produk luar negeri. Banyak yang akan merasa gaul dan keren ketika menggunakan produk luar negeri. Hal yang lucu menurut saya, konsumsi produk semacam ini di Indonesia sangat berbau negara berkembang. Produk palsu, ya, pasaran produk palsu dari berbagai merk ternama menjadi lahan potensial bagi banyak pengusaha lokal untuk mengimpor barang palsu dari china, kiblat produk bajakan sedunia. Kecenderungan mahasiswa memilih merk luar negeri (walaupun palsu) menunjukkan betapa hausnya mereka terhadap pengakuan dari lingkungan. Mahasiswa kini lebih memilih menjadi budak berbagai merk yang bertebaran dibanding menjadi pengikut berbagai mazhab ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari (yang sangat sepi peminat), sungguh ironis.
Di sisi lain, sistem pendidikan universitas punterlihat latah dengan mengikuti trend menjadisemakin kapital dengan mereduksi jangka waktu belajar mahasiswa. Kelulusan lebih menjadi prioritas dibanding pengalaman belajar. Sistem yang mengharuskan kelulusan dengan deadline tujuh tahun, membuat banyak mahasiswa merasa dikejar waktu dan inginsecepatnya lulus.
Mayoritas mahasiswa kini memiliki impian sederhana yang biasa-biasa saja. Segera setelah lulus kuliah mendapatkan pekerjaan sesuai keinginan yang memberikan kepuasan material, lalu menikah dan memiliki anak. Dengan cita-cita semacam itu sebenarnya terlihat ego pribadi yang dimenangkan. Terhadap kalimat saya sebelumnya, kemungkinan besar akan muncul argumen tandingan yang berbunyi “kita bisa membangun masyarakat dengan berbagai cara, salah satunya melalui pekerjaan kita masing-masing”. Ya tentu saja hal itu benar, namun bila niat itu tidak dibarengi kemauan untuk membantu masyarakat maka hal buruk akan terjadi. Sesuatu yang ironis bisa kita semua saksikan saat ini, korupsi membayangi segala sektor yang ada di bumi pertiwi.Kenapa hal itu terjadi? karena banyak individu yang tidak memiliki niat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih baik. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kalau mahasiswa yang kini menempuh studi besok menjadi pemangku kebijakan tanpa memiliki kemauan tersebut.
Namun efek sebenarnya dari konsumerisme terhadap mahasiswa lebih menakutkan dari yang kita bayangkan. Seseorang yang sudah terbiasa konsumtif akan sulit mengubah polanya menjadi seorang yang produktif. Sudah menjadi pengetahuan umum kalau pekerjaan sulit didapatkan. Pemerintah masih belum mampu menyediakan lapangan kerja untuk usia produktif di Indonesia. Efek langsungnya adalah banyaknya pengangguran berpendidikan karena tidak terserap di sektor-sektor yang ada. Persaingan begitu ketat untuk mendapat pekerjaan bisa dilihat ketika pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil dibuka. Ribuan orang berkompetisi untuk meraih puluhan posisi. Tentu akan ada ribuan orang yang gagal lolos seleksi.
Ini adalah indikasi buruk bagi mahasiswa yang dulunya terbiasa hidup konsumtif, mereka terancam mendapat status pengangguran dalam waktu cukup lama bila tidak segera mendapat pekerjaan. Seorang yang menganggur lama akan mendapat tekanan batin dan sosial yang cukup berat.
Kemungkinan lebih buruk, mereka yang sudah terbiasa konsumtif biasanya sulit menghentikan kebiasaannya. Ketika mereka telah dihadapkan pada kenyataan untuk hidup mandiri namun masih belum mendapatkan pekerjaan, sementara kebiasaan konsumtif sulit dihentikan, maka hutang akan menjadi pilihan. Ketika sudah terjebak dalam kebiasaan hutang untuk konsumsi (hutang untuk produksi tidak termasuk) maka tekanan sosial untuk membayar akan semakin memperberat kondisi individu tersebut. Ketika hal ini terjadi, bukan tidak mungkin upaya untuk mendapatkan uang secara tidak halal dilakukan. Imbas paling buruk adalah angka kriminalitas meningkat.
Seperti yang pernah mantan wakil presiden Jusuf Kalla ungkapkan, Indonesia membutuhkan banyak entrepreneur. Banyak bidang yang memungkinkan mahasiswa (karena telah berpendidikan) untuk menjadi pengusaha sesuai dengan jalur studinya. Namun pertanyaannya, bila seseorang tidak dibiasakan untuk produktif, mampukah dirinya mendadak berubah menjadi produktif?. Akan sangat sulit sekali menerapkan hal tersebut.
Konsumerisme adalah tembok tebal yang membatasi mahasiswa dari mengkritisi sebuah keadaan. Ia membelai dengan lembut, adiktif dan memanjakan walau yang sebenarnya diberikan hanyalah kepuasan semu. Sebenarnya untuk menggalakkan konsumsi selektif diperlukan peran banyak pihak yang saling bahu-membahu. Pihak yang dimaksud di sini adalah keluarga dan institusi pendidikan dasar. Dengan adanya seruan semacam ini secara besar-besaran, maka ada kemungkinan konsumerisme bisa ditangkal. Keluarga adalah poin penting untuk penanaman nilai semacam ini. Karena nilai yang melekat pada seseorang dibentuk oleh lingkungannya.
Sudah rahasia umum banyak gadis usia remaja yang menjual diri agar mampu memiliki barang-barang yang dianggap keren. Sudah rahasia umum untuk diterima menjadi anggota instansi dalam negeri perlu membayar sekian juta rupiah. Juga sudah menjadi pengetahuan kita semua, kalau angka kemiskinan republik ini masih tinggi.
Apakah kita akan terus berdiam diri membiarkan bangsa ini digerus konsumerisme?. Harapan saya terwakili oleh lirik lagu berikut.

Lekas, bangun dari tidur berkepanjangan
Menyatakan mimpimu
Cuci muka biar terlihat segar
Merapikan wajahmu
Masih ada jalan menjadi besar
Mengembara menjadi Indonesia
(Menjadi Indonesia-Efek Rumah Kaca)

JANGAN MENYERAH, PARA PENGUNGSI MENOLAK LEMAH

Hari itu, Minggu 7 November 2010, dua hari setelah erupsi terbesar Merapi terjadi. ratusan ribu pengungsi tersebar di berbagai lokasi. Saya yang menjadi bagian dari Gelanggang Emergency Response (GER) sedang berada di gedung Purna Budaya UGM. Gedung tersebut adalah salah satu dari ribuan bangunan di Jawa Tengah dan DIY yang menjadi pos pengungsian. Terdapat sekitar tujuh ratusan pengungsi, yang mayoritas terdiri atas wanita, anak-anak dan para lansia.
Ekspresi yang ada dari hampir semua pengungsi hampir sama, bibir berkerut, tatapan sedih, kepulan asap rokok dari beberapa bapak yang merenung. Mereka tampak lelah, banyak yang duduk dan berbincang satu sama lain. Hanya anak-anak yang bisa membawa sedikit keceriaan, mereka masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi. Mereka berlarian berkejaran satu sama lain kesana kemari, beberapa ibu tersenyum melihat keceriaan putra putri mereka. Kegembiraan anak-anak kecil seolah menjadi penghilang lelah dan penyemangat bagi para sukarelawan yang ada.
Malam ini, sebuah kelompok musik dari GPNU akan tampil untuk menghibur para pengungsi dengan bernyanyi dan mengadakan tausyiah. Jujur, saya begitu takjub dengan solidaritas masyarakat ketika bencana Merapi terjadi. Banyak orang yang datang menyatakan diri siap mengisi waktu untuk menghibur pengungsi.
Sekitar pukul setengah delapan acara dibuka, diawali dengan lagu yang berlanjut dengan tausyiah. Da’i yang ada menyerukan para pengungsi untuk bersabar dan bersyukur. Para pengungsi mendengarkan dengan tekun, ada yang duduk dan berdiri mengelilingi grup tersebut. Siraman rohani adalah penyegar, penguat diri untuk menghadapi kenyataan. Setelah acara Tausyiah selesai, sang da’i menyatakan akan membawakan lagu penutup.
“Ayo kita nyanyi bareng-bareng ya bapak-bapak, ibu-ibu, adek-adek, semoga Allah memberi kesabaran untuk kita semua” ucap sang da’i sebelum memberi tanda pada gitaris untuk mengawali lagu. Mendengar petikan gitar yang mengawali lagu populer dari D’Massive, anak-anak yang ada langsung tersenyum ceria. Lagu terkenal ini sudah pasti mereka hafal.
Agak mengagetkan, ketika lagu dimulai ternyata seluruh pengungsi yang mengikuti acara ikut bernyanyi. Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah, tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik, jangan menyerah, jangan menyerah, jangan menyerah. Dengan bersemangat, ratusan orang bersamaan menyanyikan lagu ini. Beberapa ibu terlihat meneteskan air mata karena terharu, namun mereka tersenyum, tatapan mereka menyiratkan semangat. Ya, para pengungsi tersenyum, lagu ini menyadarkan pengungsi kalau hidup adalah perjuangan dan menghidupkan filosofi Jawa, gusti ora sare,Tuhan akan selalu bersama hambanya. Atmosfer pengungsian yang tadinya suram, berubah mendadak menjadi bersemangat penuh haru.
Anak-anak berteriak sekeras mungkin, menyiratkan semangat muda mereka. Beberapa lansia mengusap air mata. Bukan sound system seadanya yang membuat lagu ini dinyanyikan penuh semangat oleh pengungsi, bukan pula faktor band asli yang terkenal di kalangan muda-mudi, melainkan faktor penolakan untuk menyerah, berputus asa menghadapi keadaan yang ada. Bahkan saya sendiri hampir meneteskan air mata melihat semangat yang muncul. Tubuh terasa bergetar melihat semangat dari manusia-manusia yang tertimpa bencana. Melihat upaya menolak untuk lemah menghadapi tantangan besar yang melanda. Saya pun ikut bergabung bersama para pengungsi untuk ikut bernyanyi. Lagu yang dinyanyikan bersama malam ini membuat saya belajar, begitu besar tantangan yang bisa diterima manusia. Betapa kita harus siap dan kuat menerima tantangan tak terduga yang mungkin tiba. Jangan Menyerah