Total Tayangan Halaman

Sabtu, 12 Desember 2015

Nurjanah : Cahaya Surga

Pertama kali aku melihatnya, parasmu yang anggun tampil di layar persegi panjang telepon selularku. Masih ingat, kamu memakai kaos putih, jeans biru, dan topi berwarna biru dengan merk strip tiga dengan latar belakang peta sebuah lokasi wisata di Nusa Tenggara Barat.

Dirinya sekilas terlihat cantik dan menarik.

Ia tampak unik dan menarik di awal perkenalan itu, mungkin dirinya merasakan hal yang sama. Aku ndak menganggap diriku lebih unggul dari cowok cowok lain, but i've found yourself as a interesting person, and meaby, you feel the same way about me.

Obrolan kita baru dimulai sekian minggu kemudian, dirinya unik dan lucu dengan tanggapan-tanggapan yang kaku dengan penyebutan "saya" dengan segala afirmasi yang menyertainya. Ia menganggapku sok misterius karena diriku yang menyembunyikan tempat bekerja dan informasi lain sementara kamu sangat terbuka dan energik menceritakan dirimu. Hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk melakukan komunikasi video denganmu. Di sebuah kos di salah satu sudut pusat kota Bandung kamu sedang sibuk mondar-mandir di kos-kosanmu sambil mencuci baju. Rajin dan mandiri juga gadis ini, begitu pikirku dalam hati. Di sebuah kubikel kerja di salah satu bangunan di Ibukota, aku sengaja memakai topi hutan berwarna merah menyala yang menutupi wajah, menanti reaksimu di ujung sana.  Pembicaraan kita terus berlanjut, komunikasi berlangsung semakin intensif karena kebetulan workload pekerjaan di kantor sedang agak mengendur pada masa-masa itu. Dalam skala harian, aku memperhatikan aktivitasnya, mulai dari berangkat kantor, makan, dan hingga terlelap.

Cukup terhenyak diriku saat semakin jauh mengenalinya, dirinya ternyata tak hanya cantik, memiliki selera fashion bagus dan anggun, namun juga baik, mandiri, energetik, atentif, dan jujur. Sebuah perpaduan nilai yang sangat jarang didapatkan dari kebanyakan gadis lain. Ia adalah anti-mainstream dalam artian memiliki standar lebih tinggi dari gadis lain kebanyakan.

Aneh, dirinya tak menganggap tak terlihat keberatan dengan karakterku yang mungkin dideskripsikan oleh banyak orang sebagai eksentrik dan memiliki perbedaan cukup besar dengan pria pada umumnya. Aku yang cenderung meletup-letup jadi agak pendiam dan eksklusif, pada komunikasi dengan dirinya cenderung menjadi lebih kalem, fokus dan dalam standar tertentu yang aku tetapkan sendiri, menjadi lebih pendiam. Cahaya Surga itu hadir dalam sebuah episode dalam hidup yang aku sebut nadir dan kelam setelah kehilangan seseorang yang memang sudah saatnya hilang.

Semakin jauh mengenalnya, timbullah perasaan sayang.
Semakin jauh mengetahui, timbullah rasa tidak ingin kehilangan.

Sempat aku membayangkan bila menjalin hubungan dengannya, relasi kita akan seperti Carl dan Ellie dalam film UP. Carl, laki-laki setia pendiam yang berjualan balon, menjalin relasi cinta penuh kehangatan dengan Ellie, pemandu Taman Bermain yang energik dan selalu antusias. Relasi di antara keduanya memiliki sifat di antara dua kutub magnet yang berlawanan namun saling tarik menarik.

Timbullah niat dalam hati untuk menyatakan perasaan, namun aku tak ingin mengungkapkannya melalui telepon selular, sebuah pernyataan yang sama sekali tidak memenuhi kriteria standar gentleman apabila hal tersebut dilakukan. Akhirnya kita berjanji untuk melakukan pertemuan, dan untungnya dirinya mau, pertemuan pertama kita dilakukan sekaligus melakukan perjalanan beramai-ramai dengan sahabat-sahabat baikku untuk mengarungi sungai Lembah Hijau di Jawa Barat.

Kunaiki kereta Argo Parahyangan Jakarta-Bandung dengan perasaan cukup was-was, apakah ia mau menerimaku?dan bagaimana dirinya yang sebenarnya?

Perasaan tersebut terus menghantui saat diriku melangkahkan kaki turun dari kereta dan berjalan penuh rasa ingin tahu menuju pintu keluar. Sesaat melihat sekeliling, kulihat seorang gadis menunduk melihat telepon selularnya di salah satu pintu tunggu penumpang. Ia mengenakan celana panjang biru, cardigan dipadu dengan kaos belang-belang hitam putih. Sungguh benar, ia sangat cantik, jauh melebihi tampilan saat kita melakukan komunikasi video di telepon selular. Ia tampak sangat fokus dengan telepon selularnya. Aku berjalan pelan dan duduk di sampingnya tanpa ia sadari, "Cilukba" begitu kataku. Dirinya menoleh, aku tersenyum, dia tertawa kecil. Giginya putih rata, kulitnya putih bersih, rambutnya hitam panjang seperti artis bintang iklan shampoo, sepasang bola mata cokelatnya berbinar, pipinya terdapat beberapa bintik kecil bekas jerawat, di dahinya terdapat bekas luka yang didapatnya saat kecil, bekas luka yang seringkali ia pegang saat kita berkomunikasi. Ia membawa tas dengan merk strip tiga warna biru dan sebuah tas kecil berisi barang untuk petualangan kita. Akhirnya kita menuju sebuah lokasi untuk mengobrol sambil menunggu sahabat-sahabatku mengendarai mobil berangkat dari Batavia.

Saat pertemuan pertama aku dan dirinya mengobrol secara panjang lebar itulah aku sadar, gadis ini memiliki kecantikan yang jauh lebih tinggi daripada tampilan fisiknya. Satu hal yang menjadi perhatian utama adalah, walaupun ia cenderung jujur mengemukakan pendapat, ia lebih banyak berbicara melalui tatapan matanya, sebuah hal yang membuatku merasa terganggu namun juga tertarik dengan karakternya yang unik tersebut. Seringkali ia menanggapi pernyataanku dengan tatapan dalam penuh selidik, membuatku mengingat mengevaluasi dan mengelaborasi kalimat-kalimat yang baru saja aku utarakan.

I Fall in Love with Her, and start having a feeling that i don't want to loose him

Dalam obrolan tersebut, ia mengungkapkan banyak hal, keinginan, semangat, kekhawatiran, dan ketakutannya. Aku lebih mendengarkan dalam diam, dan memperhatikan gerak bibir tipisnya yang manis menceritakan banyak hal. Semakin diperhatikan, ia memiliki aura positif yang cukup kuat, namun ia memiliki ketakutan-ketakutan yang selalu menghantui.

We'll make this world our won
Just come along, I Promise You
You'll Never be Walking Alone 
(Swedish House Mafia-Walking Alone)

Entah kenapa lirik lagu Swedish House Mafia tersebut terngiang dalam otakku. Akhirnya kusampaikan perasaan sayangku padanya. Ia menatapku dalam-dalam, lalu bertanya, "Apa bedanya suka, cinta, sama sayang?". Aku membiarkan suasana hening sambil berpikir jauh. Cahaya Surga menatapku dalam-dalam dan menyunggingkan senyum kecil yang manis saat mendengarkan jawabanku.


I Love You Delia Nurjanah, dengan segala kekurangan dan kelebihanku.



















































 

































Kamis, 26 Maret 2015

Angel Without Wings


Sedikit tidak sabar, di tengah sebuah rapat, ponsel berdering di samping komputer jinjing yang dipinjamkan oleh negara. Kucoba membaca pesan singkat yang baru saja masuk ke ponsel.
"Gimana kabarmu le?"
Sebuah pesan dari ibunda masuk, sederhana, menanyakan kabar. Materi rapat sedang krusial membahas agenda program, kutunda membalas pesan. Lanjut fokus terhadap dialog rapat, beberapa pesan masuk ke ponsel, kucek lagi, menanyakan pekerjaan, segera kubalas dengan padat dan cepat.
Waktu berlalu, rapat selesai dan otak masih terasa panas memikirkan alternatif solusi atas berbagai permasalahan yang baru saja dibahas. Sedikit stress release, segera aku turun ke lantai dasar, untuk sekedar bencengkerama bersama teman, lupa sudah membalas pesan ibu.
Akhirnya sore hari datang, di tengah pengerjaan materi, ponsel kembali bergetar, kubaca singkat
"Gimana kabarmu li?kok gak dibales"
Tertegun, segera kutelepon ibunda.
Ibunda menanyakan kabar, mendoakan dan memberikan harapan, seperti biasa. Setelah kututup telepon, diam kutatap jendela kantor, gedung bertingkat tinggi menghampar. Perlahan, memori tahun 1960 memenuhi kepala.
Jakarta 1960, 55 tahun yang lalu tentu sangat berbeda dari sekarang, pemerintahan Soekarno berjaya walau mulai diterjang angin kencang. Di tahun ini, parlemen hasil Pemilihan Umum 1955 dibubarkan, sebagai kelanjutan Dekrit Presiden 1959, Sistem Presidensial menguatkan legitimasi. Dalam situasi ibukota yang penuh gonjang-ganjing, lembar pertama atas sebuah kisah muncul di kota Magelang. Kota ini menjadi pusat perhatian sejarah dalam konvoi Jenderal Soedirman ketika bermanuver menghadapi Agresi Militer II Belanda ke Yogyakarta. Di kota itu, pasangan suami istri Kapten Angkatan Darat dan guru sekolah dasar mengalami fase bahagia, mereka dikaruniai seorang bayi putri yang jelita. Pada tanggal 26 Maret 1960, lahirlah sosok matahari di siang hari, dan bintang di malam hari yang tidak pernah berhenti menyinari hari hari seorang bocah bandel yang keras kepala sejak 18 Mei 1990 dan dua kakaknya, dialah Ibunda-ku.
55 tahun yang lalu, ibunda tentu masih menjadi makhluk kecil yang polos, suka menangis, dan perlu diperhatikan setiap saat, manja sekali memang, tapi tak apalah, memang fasenya begitu. Bayangan mengenai ibunda saat masih batita sedikit membuatku tertawa di tengah lamunan, bayi kecil yang tertawa dengan mata bulat penasaran melihat sekeliling dan bergerak kecil menggerakkan kedua kaki dan tangannya. Teringat pula foto saat diriku masih kecil, saat pigmen kulit masih berwarna putih bersih cerah (karena kini hitam gelap kusam). Seringkali ibunda berujar
"Kamu dulu itu anak paling lucu lho Li, kulitnya putih, gemesin pokoknya, tapi kok sekarang item elek rambute awut-awutan ngono to le" ujarnya sambil mengusap rambut suatu hari. Usapannya ke kepalaku lembut, penuh kasih sayang.

Kata mereka diriku, selalu dimanja
Kata mereka, diriku selalu ditimang
(Bunda, Melly Goeslaw)

Mengingat Ibunda, tak pernah lepas dari bayangan betapa besar kasih yang telah ia berikan sejak kecil. sejak dulu ia paling sering memarahi putranya yang selalu bandel, sulit belajar, suka kelayapan, melakukan tindakan irasional bersama teman-teman kecil mbelingnya hampir melakukan tindakan pelanggaran hukum di usia sangat muda, dan tidak cerdas pula di hampir semua mata pelajaran. Saat seragam pendidikan dulu masih warna-warni dan putih merah, kegilaan eksplorasi bocah Taurus terus menerus terjadi dengan garis kurva selalu meningkat setiap hari. Entah seberapa panjang urat nadi kesabaran ibunda menghadapi kenakalan-kenalakan tuyul yang seakan tidak pernah mau berhenti bergerak melakukan hal-hal aneh dan bandel seakan tiada ujungnya. Hampir setiap hari dimarahi, tidak juga berubah kelakuan tuyul kecil keras kepala itu, tidak lelah pula ibunda terus menerus memarahi supaya putranya tidak tersesat ke jalan setan. Apa dikata, bocah kecil itu selalu membantah dengan argumen tidak masuk akal, negosiasi semacam ini hampir selalu berakhir dengan jeweran. Masih teringat dulu rasanya nasehat-nasehat itu luntur beberapa detik setelahnya. Hubungan kedua makhluk ini seperti Palestina yang sabar terus menerus berusaha - dan Israel yang selalu membandel, kucing-kucingan dan hampir selalu tegang walau penuh unsur lucu dan tawa. Untung saja ada wasit, Abah, yang selalu menjadi penengah dan penyelamat situasi.

                             She used to be my only enemy and never let me free, 
                               Catching me in places that I know I shouldn't be, 
                         Every other day I crossed the line, I didn't mean to be so bad, 
                            I never thought you would become the friend I never had, 
                          Back then I didn't know why, why you were misunderstood, 
                        So now I see through your eyes, all that you did was love, 
                                                             (Momma, Gadis Rempah-Rempah)

Tentu saja Ibunda memiliki banyak aspek lembut dan penuh kasih, seganas-ganasnya harimau, ia tidak akan menerkam anaknya sendiri. Saat kecil, masih teringat, sebelum tidur ibunda menceritakan dongeng hingga aku jatuh terlelap, beliau akan membelai rambutku yang penuh rasa ingin tahu menanyakan aspek-aspek aneh dari dongeng yang ia ceritakan, sampai diriku sendiri lelah dan terlelap. Pagi hari, setelah bangun, selalu tersedia segelas teh hangat, beberapa potong roti, ataupun masakan racikannya yang dimasak dengan terburu-buru. Dengan sangat teliti, beliau mengecek tasku agar tidak ada buku pelajaran yang tertinggal dan kembali mengingatkan menghindari putranya yang sangat ceroboh ini kena amuk guru di sekolahan.

Dulu, rasanya selalu malas bangun pagi, beliau tidak pernah sekalipun berhenti mengingatkan untuk bangun pagi.
Dulu, rasanya selalu malas belajar, beliau tidak pernah mengendurkan semangat untuk selalu mengingatkan (dan memarahi) untuk membaca tiap lembar buku dari sekolah.
Dulu, rasanya selalu sulit membaca Al-Quran, beliau tak pernah satu haripun mundur dari tekad agar tuyul yang bandel ini terlindung dari godaan iblis.
Dulu, hampir selalu aku membantah...sampai akhirnya usia membimbingku ke digit angka usia lebih besar, lebih tua...untuk terlambat menyadari, betapa kasih sayang yang beliau berikan terlampau besar, dan terlampau kuingkari dengan rasio-rasio tidak masuk akal.

Ibunda adalah sosok wanita tangguh yang keras dan kritis terhadap sekelilingnya. Ia adalah kader Muhammadiyah yang percaya terhadap moderatnya nilai-nilai agama Islam sesuai mazhab Syafii a la Ahlu Sunnah sesuai visi misi Achmad Dahlan. Prioritas utamanya untuk mengabdi sebagai seorang guru Pendidikan Anak Usia Dini tidak terbantahkan lagi. Ibunda mengabdikan seluruh energi di alokasi waktu profesionalnya untuk mengembangkan potensi bocah-bocah kecil untuk menangkal akhlak buruk, empati rendah, dan jalan sesat karena kebodohan irasional. Pantas saja urat sabarnya tidak pernah putus walau sering marah, beliau sudah sangat terlatih menghadapi keunikan bocah-bocah yang baru berkembang kapasitas otaknya untuk menerima berbagai materi pembelajaran. Dalam jenjang hierarki, tak segan segan beliau mengkritisi siapapun yang menurut perspektifnya mengeluarkan kebijakan salah.

Pada suatu hari seorang ummat menemui Nabi Muhammad SAW dan terjadi dialog 
"Ya Rasul, pada siapa aku harus berbakti pertama kali?"
 "Ibumu"
"Lalu siapa lagi?"
"Ibumu"
"Lalu siapa lagi?"
"Ibumu"
"Lalu siapa lagi?"
"Ayahmu"
(H.R Bukhari Muslim)


"Li, kamu itu mbok manut kalau dikasih tahu sama mamah, berhenti ngerokok to le, demi kesehatanmu sendiri"

Ucapnya dengan bibir cemberut, menasehati kebiasaan tentang asap yang memenuhi paru-paru. Tertunduk diam, tak berani kubantah atau menjawab pernyataannya. Setiap nasihatnya, dari dulu, sejak kelakuanku masih seperti tuyul tanpa tuan yang liar hingga usiaku hampir seperempat abad sekarang, semuanya demi kebaikanku sendiri. Kupegang pundaknya pelan lalu kuusap rambutnya yang mulai banyak beruban menenangkan dirinya yang tampak gundah. Beliau masih berbadan kurus, kecil, dan gesit seperti dulu. Hanya saja, kini tampak keriput di wajahnya, kadangkala, ia mengeluhkan pinggangnya sakit. Beberapa kali beliau, drop karena kelelahan, agenda hariannya sebagai garda depan kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini mengharuskan ibunda memiliki agenda sangat padat dengan intensitas bepergian tinggi.

Saat melihat beliau sakit, memori terbayang saat Sekolah Dasar di mana putra bandelnya ini terkena Typhus karena terlalu sering pecicilan. Wajahnya pucat dan cemas, tatapannya penuh kekhawatiran, ia mengambil cuti mengajar, untuk menemaniku memastikan minum obat tepat waktu dan makan sesuai kadar yang ditetapkan. Saat diriku terkena Typhus di masa perguruan tinggi pun, beliau memberikan perhatian dalam taraf setara, sama sekali tidak berkurang, tatapan penuh kekhawatiran itu masih sama, pun perhatiannya tidak sedikitpun berkurang.

Di saat SMA, karena kenakalan, terjungkallah diriku dari kendaraan roda dua karena terlampau menikmati sensasi adrenaline sehingga mengabaikan aspek keselamatan. Lukaku memang tidak terlalu parah, tapi murka Ibunda luar biasa, ia tahu anaknya kebut-kebutan. Kini baru kupahami, murka beliau disebabkan karena rasa heran, ia selalu menjaga keselamatan makhluk yang sangat ia sayangi, sementara makhluk itu tidak menjaga keselamatannya sendiri.

Beliau semakin menua, mampukah aku perhatian terhadap Ibunda seperti beliau menjagaku saat kecil dulu?
Mampukah aku membuatnya tertawa, seperti beliau mencoba menghiburku saat dirundung masalah di masa kecil dulu?

Aku heran, Ibunda tidak lelah, setelah 9 bulan mengandung, melahirkan dengan penuh rasa sakit, diuji kesabarannya tiada henti dengan kenakalan kenakalan, argumen-argumen irasional, pemberontakan-pemberontakan...beliau tidak lelah, tidak lelah, dan tidak akan pernah merasa lelah...

Seberapa sering ucapanku mungkin menyakiti hatinya?
Seberapa sering tindakanku tidak berkenan dalam kalbunya?
Seberapa sering egoku menguji kesabarannya?

Malu, cukup satu kata yang merepresentasikan diriku terhadap Ibunda kini.

Malu aku, bila Ibundaku yang berusia setengah abad bekerja lebih keras
Malu aku, bila Ibundaku yang mulai memiliki keriput bangun lebih pagi
Malu aku, bila setelah segera kesabarannya selama ini, aku memberinya kekecewaan baru.
Malu aku, bila lupa menanyakan kabarnya, dan meluangkan waktu mengobrol, karena disibukkan pekerjaan atau nongkrong bersama teman.

”Banyak berdoa dan beribadah ya le, di akhirat bahkan mamah sama Abah gak bisa nolong kamu, cuma amal ibadahmu yang bisa” 

Itulah nasihat yang sering diucapkannya. Subhanallah, sebelum aku lahir, hingga nanti setelah aku meninggal, beliau masih memikirkan keadaanku. Ya, beliau, ibuku yang mulai menua, yang masih terus kurepotkan, dan masih merawatku seperti 20 tahun lalu ketika aku lahir (tentu saja minus asupan ASI, suapan, dan gendongan).  Sepanjang umurku, beliau sering membandingkanku dengan anak orang lain yang lebih rajin, pintar, dll, beberapa kali kuprotes beliau atas kritik ini. Namun Ibunda menjawab dengan diplomatis

“Kalau kamu mama bandingkan dengan anak lain yang lebih buruk, kamu bakal berpuas diri dan gak mau koreksi diri”

Setelah sekian lama, beliau tak pernah bosan mengingatkan
Setelah sekian lama, beliau tak pernah berhenti memperhatikan
Setelah sekian lama, aku masih sering mengecewakan
Sering aku bosan, namun ia tak pernah berhenti menasehati, untuk membuatku lebih baik lagi.

“Nanti kalau aku sudah sukses, mama pengen tak belikan apa?” tanyaku pada suatu sore
“Gak usah, mama cuma pengen ngeliat kamu rajin beribadah demi kamu sendiri, sekaligus hidup seneng sama istri dan anak-anakmu kelak…”

Sekali lagi, ia tak memikirkan dirinya sendiri. Hanya anaknya yang terpikir, hal ini membuatku termenung. Dalam renungan, aku mengutuk diriku sendiri. Seberapa sering aku memikirkan ibuku di perantauan ini? seberapa sering aku mendoakannya? seberapa sering aku memikirkan bagaimana perasaannya? seberapa sering aku menyiksanya dengan egoisme masa muda yang (sok) revolusioner dan penuh gelora?.

Setelah selama ini, beliau selalu mendoakan semua anak-anaknya, setiap hari, lima kali sehari. Tak hanya ibadah wajib, hampir selalu beliau melakukan ibadah Sunnah, dengan harapan doanya kepada anak-anaknya lebih mudah dikabulkan.

Seberapa besar usahanya, seberapa intensif dan teliti mencoba, tidak akan pernah, sedikitpun aku akan mampu menyamai besarnya karunia yang telah Ibunda berikan padaku, terima kasih untuk segala detail yang tak terlewatkan, dan usaha tiada hentimu untuk menunjukkan kasih sayang.

Seseorang memanggilku dari belakang mengingatkan mengenai pekerjaan yang harus diselesaikan, dari jendela kantor tampak kegelapan menyelimuti ibukota, tapi senyumku mengembang, karena Ibu terasa dekat, melalui doa-doanya.



Mother, you are my Angel Without Wings, Combination of Sun and Moon and Stars that sent by Allah to make today more brighter than yesterday and my tomorrow better than today.

Ribuan kilo, jarak yang engkau tempuh
Lewati rintang, untuk aku anakmu
Ibuku sayang, masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah, penuh nanah
Seperti udara, kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas
Ibu…Ibu…
(Iwan Fals-Ibu)



N.B :
-Tulisan ini didedikasikan untuk Ibunda, Nurti Wijayanti, cahaya yang tak akan pernah padam.
- Bagi para pembaca, hubungi atau peluklah ibumu dan sampaikan terima kasih kepada beliau bila menyukai artikel ini.