Total Tayangan Halaman

Rabu, 16 Maret 2011

PERJUANGAN PETANI KULON PROGO MELAWAN ARISTOKRASI

“Bertani atau mati, tolak tambang besi”
(Manifesto perjuangan petani Kulon Progo)

Sore itu beberapa petani datang ke B21, pakaian mereka lusuh sederhana. Kedatangan mereka ke basis pers mahasiswa UGM dengan niat menceritakan kesusahan yang sedang dihadapi. Mereka duduk beralas tikar sederhana di depan rumah sederhana kami. Di sekelilingnya, puluhan mahasiswa duduk serius mendengarkan keluh kesah yang mereka sampaikan. Cerita beberapa petani yang datang sore ini, mewakili duka ribuan petani pesisir Kulon Progo dalam melakukan perlawanan. Mendengarkan kisah mereka, membuatku merasa muak dan jijik terhadap pola pemerintahan yang ada.
Kisah perlawanan dimulai ketika rencana tambang pasir besi dilahirkan. Warga Kulon Progo yang hidup adem ayem dikejutkan dengan kedatangan perusahaan tambang pasir besi (PT. JMM) untuk merebut lahan mereka. Rencana pertambangan ini menyulut bom waktu kerusuhan sosial.
Akar permasalahan adalah perebutan tanah antara penguasa, perusahaan dan rakyat. Sekilas akan saya jelaskan sedikit (berdasar sedikit pengetahuan saya, CMIIW) mengenai tanah. Menurut Undang-Undang, tanah tidak bersertifikat dianggap milik negara, kecuali sudah ada warga yang menggunakan tanah tersebut selama minimal 20 tahun. Bila ada warga yang menggunakan selama 20 tahun, maka ia berhak mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya. Salah satu keistimewaan Jogja selain menyangkut pusat kekuasaan adalah status tanah. Tanah tidak bersertifikat dianggap milik dua kerajaan yang ada, Kasultanan atau Pakualaman. Maka ada sebutan Sultan Ground atau Pakualaman Ground untuk banyak area di provinsi Yogyakarta. Petani pesisir Kulon Progo amat terkejut ketika lahan yang digarap sejak zaman Jepang (lebih dari 60 tahun) diklaim sebagai Pakualaman Ground. Seorang ibu-ibu bercerita, ketika terjadi mediasi antara warga dengan wakil Pakualaman sempat terjadi dialog, seorang petani menanyakan bukti kepemilikan Pakualaman terhadap lahan. Wakil Pakualaman menjawab tanah tersebut milik Pakualaman berdasar perjanjian Gianti.  
Warga Kulon Progo yang sudah meninggali wilayah dan menggarap lahan selama lebih dari 60 tahun (dan memiliki sertifikat) marah dengan adanya rencana pertambangan. Tanah yang mereka garap sebagai sumber penghidupan terancam hilang terganti area tambang. Bagi seorang petani, kehilangan lahan berarti kehilangan pekerjaan, kehilangan pekerjaan berarti hilangnya penghasilan, hilangnya penghasilan berarti keluarga terancam kekurangan pangan. Konflik terjadi.
Demi meraih kemenangan, PT.JMM disponsori pusat aristokrasi melakukan berbagai upaya memenangkan tambang. Upaya dilakukan dengan berbagai metode, penggunaan aparat, menelikung Undang-Undang, devide et impera terhadap masyarakat, ormas pemuda bayaran, ancaman psikologis, dukungan Pemkab dan serangan fisik (Kedaulatan rakyat, 27/8/08). Sementara di sisi lain para petani bergerilya menggempur berbagai kepalsuan dan cacat fondasi hukum PT.JMM, berdemo, memberitakan penjajahan yang dialami, dan tentu saja mempertahankan diri terhadap serangan fisik yang terjadi. Warga mengorganisir diri, membentuk Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP) sebagai basis perlawanan. Mereka berniat tidak akan mau terlibat diskusi dengan stake holder selama masih ada upaya menjadikan lahan pertanian sebagai wilayah tambang.
Perjuangan melawan kekuasaan tidak mudah, lima tahun sudah perlawanan terjadi, belum ada kejelasan mengenai nasib mereka. “Ini tinggal waktu meletus mas…” ujar salah satu petani mengungkapkan eskalasi konflik. Dipojokkan dari berbagai segi oleh aristokrasi yang memiliki jaringan kuat, berbagai upaya yang dilakukan nihil solusi yang berpihak pada petani. Kalau pemerintah tidak segera menghentikan upaya penambangan, dikhawatirkan konflik fisik akan terjadi. 
Lima tahun berjuang (1 April 2011 nanti tepat tahun kelima) aspirasi mereka tak kunjung didengar. Alasan utama mereka untuk melakukan perlawanan satu, mereka hanya ingin bertani. Para petani pesisir Kulon Progo hanya ingin menggarap tanah mereka agar bisa dipanen dan hasilnya untuk memberi makan keluarga. Namun entah mengapa orang-orang di pusat lingkar kekuasaan yang mampu meloloskan permintaan mereka tak mau mengabulkannya. Nuansa muak terhadap pusat aristokrasi sebagai sponsor perusahaan tambang terasa sangat kuat selama diskusi.
Wajah mereka lugu, baju mereka lusuh, rokok mereka murah, namun semangat yang ada dalam diri masing-masing petani itu sekuat baja. Mereka bertekad akan mempertahankan kedaulatan tanah dari penjarahan sepihak oleh aristokrasi berperisai pembangunan semu. Cangkul para petani akan terus menghantam perisai pembangunan, waktu yang akan menjawab, kemenangan cangkul petani atau kejayaan perisai penguasa.
Semoga petani Kulon Progo diberi kesabaran dan kemenangan.