Total Tayangan Halaman

Kamis, 20 Januari 2011

KONSUMERISME MENGGURITA DI KALANGAN MAHASISWA


Duhai korban keganasan peliknya kehidupan urban
Awal dari sebuah kepuasan, kadang menghadirkan kebanggaan, dari keangkuhan
Atas bujukan setan, hasrat yang dijebak zaman
Kita belanja terus sampai mati
Band :Efek Rumah Kaca
Judul :Belanja Terus Sampai Mati

Bila kita perhatikan, pusat perbelanjaan kini semakin menjamur di mana-mana. Tempat perbelanjaan itu lahir dan tumbuh satu demi satu. Hampir setiap hari kebanyakan pusat perbelanjaan tidak pernah terlihat sepi. Mulai dari Senin hari pertama kerja hingga Minggu hari untuk beribadah bagi sebagian umat beragama di Indonesia. Semua orang berbelanja berbagai macam kebutuhan, baik benda maupun jasa.
Konsumerisme adalah sebuah gaya hidup di mana berbelanja menjadi kebutuhan utama seorang individu. Bagi seseorang yang hidupnya konsumtif, tidak penting lagi apakah objek belanja yang mereka tuju benar-benar dibutuhkan. Bagi mereka, kegiatan berbelanja sendiri lebih penting daripada apa objek tujuannya.
Ada beberapa ciri yang menandakan seseorang konsumtif. Pertama mereka menjadikan berbelanja menjadi salah satu pemuas kebutuhan batin. Kedua, objek belanja seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Ketiga, faktor eksistensi dan pengakuan di antara lingkungan sosial di sekelilingnya kerapkali menjadi pendorong kegiatan berbelanja yang dilakukan. Bila seseorang yang melakukan kegiatan belanja merasa memiliki kriteria yang baru saja disebutkan, bisa dipastikan ia adalah orang yang konsumtif.
Kegiatan konsumsi sendiri dipengaruhi oleh banyak hal. Dari sekian banyak hal, iklan adalah salah satu pemberi efek yang vital. Kini dalam sehari (terutama di kota besar) iklan akan terus menemani sejak kita membuka mata di pagi hari hingga memejamkan mata di malam hari. Perusahaan berupaya menarik konsumen melalui berbagai media dan cara.Televisi yang menjadi salah satu media paling efektif pengenalan sebuah produk menjadi ujung tombak periklanan. Papan billboard besar sudah narsis bertahan 24 jam tanpa bosan di sudut yang sama menunggu lirikan mata pengguna jalan. Media cetaksebagai ajang merayu konsumenmenjadi ajang pertempuran berbagai perusahaan.
Selain iklan yang ditampilkan perusahaan, trend juga  berpengaruh terhadap konsumerisme publik. Contoh paling sederhana bisa kita lihat dari maraknya produk Blackberry di pasaran. Faktor prestige bagi pengguna adalah hal yang paling menunjang penjualan telepon seluler Blackberry di Indonesia. Akan ada perbedaan status sosial ketika seseorang memiliki ponsel bermerk Nokia dan Blackberry. Tentunya faktor trend ini biasanya temporer dan pada suatu saat nanti akan tergantikan oleh produk lainnya. Hal ini menjadi normal ketika perusahaan menerbitkan produk baru yang menggeser posisi produk sebelumnya, membuatnya jadi lawas tentunya.
Saya teringat ketika zaman SMA dulu memiliki teman bernama Rundi. Ia memiliki sepeda motor Supra X keluaran tahun 2000 awal. Karena sepeda motor yang dimiliki tergolong ketinggalan zaman, Rundi selalu mendapat ejekan/sindiran dari teman-temannya karena dianggap tidak mampu membeli motor baru. Ia pun sering bercerita kalau dirinya minder dengan kendaraan roda dua yang dimiliki. Akhirnya, pada suatu hari ia memamerkan sepeda motor Mega Pro terbarunya. Rundi berkata kalau ayahnya membelikan sepeda motor dengan cara kredit dan banyak anggaran penting dalam keluarga yang dipangkas untuk membeli sepeda motor baru. Rundi sama sekali tidak keberatan dengan berbagai pemangkasan anggaran penting di sektor lain rumah tangganya.
Suatu hari saya bertandang ke daerah rumah Rundi yang notabene wilayah dengan mayoritas pekerjaan utama bertani. Sepanjang perjalanan amat banyak terlihat rumah reyot, bobrok hampir ambruk yang memenuhi kriteria tidak layak huni. Namun, di kebanyakan rumah selalu ada sepeda motor keluaran terbaru seperti yang ditayangkan iklan di televisi. Ketika sampai di rumah Rundi, ia bercerita kalau mayoritas penduduk membeli sepeda motor dengan cara kredit. Ketika petani tidak mampu membayar dan dalam kondisi terpojok, mereka akan menjual tanah untuk  membayar tunggakan kredit. Mengapa mereka membeli sepeda motor terbaru dibanding membetulkan rumah? atau rela menjual sumber penghidupan berupa tanah? jawabannya satu, prestige. Dari studi kecil-kecilan yang saya lakukan, indikator status sosial seseorang di daerah Rundi ditentukan oleh sepeda motor yang ia gunakan. Kini Rundi putus kuliah karena orang tuanya tidak memiliki biaya, ia memilih berhenti menempuh studi sarjana daripada menjual sepeda motor untuk membiayai pendidikannya sendiri .
Zona paling berbahaya dari konsumerisme di era kini adalah, semakin banyak orang yang tidak menyadari kalau mereka konsumtif. Di tengah jerat kapital yang semakin erat mencengkeram, banyak penduduk republik kita tercinta yang tidak menyadari kalau mereka sedang terseret dalam sebuah barisan zombie oleh tangan-tangan korporasi yang tak disadari.
Zombie adalah istilah bagi manusia yang sudah mati, namun tetap hidup dan memangsa manusia lain. Kenapa zombie? Karena zombie tidak dibimbing oleh akal ketika bertindak, makhluk itu dibimbing oleh insting untuk terus memangsa manusia lain dan ia akan terus kelaparan. Kita berfantasi secara liar saja kalau orang-orang konsumtif tidak menyadari ketika berbelanja mereka tidak dibimbing oleh akal sehat untuk memilih sesuatu berdasar kebutuhan. Mereka dibimbing oleh insting seberapa besarprestige yang didapatkan ketika berbelanja. Sama seperti zombie, mereka akan terus memangsa tanpa henti. Sama seperti lirik lagu Efek Rumah Kaca yang saya kutip di awal artikel, “Belanja terus sampai mati”.
Status agen perubahan diperoleh mahasiswa karena mereka dianggap sebagai bagian masyarakat terdidik yang tidak terkait dengan berbagai afiliasi yang berhubungan dengan kekuasaan. Status agen perubahan sebenarnya bukan tanggung jawab yang ringan, mahasiswa memiliki beban berat di pundak untuk mengkritisi berbagai kebijakan pemangku kebijakan yang ada. Melalui kegiatan mengkritisi inilah, mahasiswa diharapkan ketika bertindak sebagai pemangku kebijakan di masa depan mampu mengeluarkan keputusan-keputusan yang berkaitan terhadap publik dengan tepat.
Namun ironis ketika status agen perubahan ditelantarkan oleh mayoritas mahasiswa yang ada di perguruan tinggi saat ini. Ya, kebanyakan mahasiswa lebih memilih untuk mengejar kepuasan pribadi atas barang-barang yang digunakan daripada bersusah payah memikirkan keadaan masyarakat di sekitarnya. Topik krusial yang berkaitan dengan masyarakat lebih hangat dijadikan sebagai obrolan ketika nongkrong bersama kawan-kawan sambil bercanda. Jarang sekali ada keinginan untuk bertindak terhadap berbagai isu penting, yang bahkan berkaitan dengan diri mereka sebagai mahasiswa atau warga negara. Ada kecenderungan untuk memasrahkan pemangku kebijakan melakukan sebuah keputusan tanpa mengkritisi, tanda yang tidak terlalu baik untuk seorang agen perubahan.
Hal paling sederhana yang bisa kita perhatikan adalah melalui pengamatan kegiatan diskusi di kampus. Mayoritas mahasiswa cenderung enggan mengikuti kegiatan diskusi. Hal ini bisa kita lihat ketika diadakannya acara diskusi yang diadakan di sekitar lingkungan kampus. Bisa dipastikan pesertanya sangat sedikit. Sementarabila kita datang pada malam hari untuk menghadiri sebuah pesta yang diadakan di sebuah club malam, keramaian yang didominasi kalangan mahasiswa adalah hal yang pasti. Padahal tidak sedikit yang menghamburkan biaya pendidikan selama satu semester hanya dalam waktu semalam. Ya, mahasiswa kini sudah merasa capek menghadapi tugas dan refreshing sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk memikirkan nasib masyarakatnya.
Di media massa sering sering diberitakan terjadinya demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Berdasar pengamatan lingkungan kampus, saya yakin bila dibandingkan dengan jumlah total mahasiswa, mereka yang terlibat dalam pergerakan adalah minoritas. Yang lebih menyedihkan, beberapa pergerakan mahasiswa kini terlihat cenderung dekat terhadap afiliasi kekuasaan.
Apa hubungan rendahnya kepedulian mayoritas mahasiswa terhadap bangsanya dengan konsumerisme?. Dua hal tersebut berkaitan erat, keengganan mahasiswa untuk terlibat dalam berbagai pergerakan bisa dikaitkan karena mereka telah berada di zona nyaman dengan konsumerisme yang membelai dengan manja. Mereka terlalu sibuk mengejar eksistensi dengan melakukan berbagai hal yang menunjang pengakuan sehingga menganggap mengkritisi kebijakan adalah hal yang tidak penting.
Mereka bahkan lupa betapa produk dari beberapa korporasi yang mereka gunakan terlibat skandal yang merugikan negara dalam nominal cukup besar. Bisa kita ambil contoh terhadap larisnya sebuah produk provider komunikasi CDMA berinisial E yang memiliki kaitan dengan korporasi besar milik petinggi sebuah partai berwarna kuning. Walaupun perusahaan induk dari produk komunikasi tersebut diindikasikan kuat melakukan pelanggaran pembayaran pajak, banyak mahasiswa terlihat tidak peduli dan terus memberi untung perusahaan dengan cara menggunakan provider tersebut. Mereka tidak peduli karena tidak dirugikan secara langsung oleh perusahaan tersebut. Sebaliknya mereka merasa untung karena mendapatkan harga murah untuk biaya komunikasi. Padahal mendukung perusahaan nakal sama dengan membantu mengurangi pendapatan negara.
Hal yang menarik dan unik bisa kita lihat melalui survey alokasi belanja bulanan mahasiswa. Menurut survey yang pernah saya lakukan, mayoritas uang bulanan mahasiswa di lingkungan UGM dihabiskan untuk keperluan makan tiap hari, bensin, hiburan (menyaksikan bioskop, jalan-jalan), dan pulsa. Sementara rata-rata uang yang dianggarkan untuk keperluan membeli buku mayoritas kurang dari 15%, itupun kebanyakan untuk membeli buku popular dan lebih sedikit lagi alokasi anggaran untuk membeli buku yang menunjang keperluan studi. Amat menarik ketika buku sebagai penunjang kegaitan perkuliahan tidak lagi masuk dalam prioritas anggaran belanja mayoritas mahasiswa.
Contoh lain adalah penggunaan produk luar negeri. Banyak yang akan merasa gaul dan keren ketika menggunakan produk luar negeri. Hal yang lucu menurut saya, konsumsi produk semacam ini di Indonesia sangat berbau negara berkembang. Produk palsu, ya, pasaran produk palsu dari berbagai merk ternama menjadi lahan potensial bagi banyak pengusaha lokal untuk mengimpor barang palsu dari china, kiblat produk bajakan sedunia. Kecenderungan mahasiswa memilih merk luar negeri (walaupun palsu) menunjukkan betapa hausnya mereka terhadap pengakuan dari lingkungan. Mahasiswa kini lebih memilih menjadi budak berbagai merk yang bertebaran dibanding menjadi pengikut berbagai mazhab ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari (yang sangat sepi peminat), sungguh ironis.
Di sisi lain, sistem pendidikan universitas punterlihat latah dengan mengikuti trend menjadisemakin kapital dengan mereduksi jangka waktu belajar mahasiswa. Kelulusan lebih menjadi prioritas dibanding pengalaman belajar. Sistem yang mengharuskan kelulusan dengan deadline tujuh tahun, membuat banyak mahasiswa merasa dikejar waktu dan inginsecepatnya lulus.
Mayoritas mahasiswa kini memiliki impian sederhana yang biasa-biasa saja. Segera setelah lulus kuliah mendapatkan pekerjaan sesuai keinginan yang memberikan kepuasan material, lalu menikah dan memiliki anak. Dengan cita-cita semacam itu sebenarnya terlihat ego pribadi yang dimenangkan. Terhadap kalimat saya sebelumnya, kemungkinan besar akan muncul argumen tandingan yang berbunyi “kita bisa membangun masyarakat dengan berbagai cara, salah satunya melalui pekerjaan kita masing-masing”. Ya tentu saja hal itu benar, namun bila niat itu tidak dibarengi kemauan untuk membantu masyarakat maka hal buruk akan terjadi. Sesuatu yang ironis bisa kita semua saksikan saat ini, korupsi membayangi segala sektor yang ada di bumi pertiwi.Kenapa hal itu terjadi? karena banyak individu yang tidak memiliki niat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih baik. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kalau mahasiswa yang kini menempuh studi besok menjadi pemangku kebijakan tanpa memiliki kemauan tersebut.
Namun efek sebenarnya dari konsumerisme terhadap mahasiswa lebih menakutkan dari yang kita bayangkan. Seseorang yang sudah terbiasa konsumtif akan sulit mengubah polanya menjadi seorang yang produktif. Sudah menjadi pengetahuan umum kalau pekerjaan sulit didapatkan. Pemerintah masih belum mampu menyediakan lapangan kerja untuk usia produktif di Indonesia. Efek langsungnya adalah banyaknya pengangguran berpendidikan karena tidak terserap di sektor-sektor yang ada. Persaingan begitu ketat untuk mendapat pekerjaan bisa dilihat ketika pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil dibuka. Ribuan orang berkompetisi untuk meraih puluhan posisi. Tentu akan ada ribuan orang yang gagal lolos seleksi.
Ini adalah indikasi buruk bagi mahasiswa yang dulunya terbiasa hidup konsumtif, mereka terancam mendapat status pengangguran dalam waktu cukup lama bila tidak segera mendapat pekerjaan. Seorang yang menganggur lama akan mendapat tekanan batin dan sosial yang cukup berat.
Kemungkinan lebih buruk, mereka yang sudah terbiasa konsumtif biasanya sulit menghentikan kebiasaannya. Ketika mereka telah dihadapkan pada kenyataan untuk hidup mandiri namun masih belum mendapatkan pekerjaan, sementara kebiasaan konsumtif sulit dihentikan, maka hutang akan menjadi pilihan. Ketika sudah terjebak dalam kebiasaan hutang untuk konsumsi (hutang untuk produksi tidak termasuk) maka tekanan sosial untuk membayar akan semakin memperberat kondisi individu tersebut. Ketika hal ini terjadi, bukan tidak mungkin upaya untuk mendapatkan uang secara tidak halal dilakukan. Imbas paling buruk adalah angka kriminalitas meningkat.
Seperti yang pernah mantan wakil presiden Jusuf Kalla ungkapkan, Indonesia membutuhkan banyak entrepreneur. Banyak bidang yang memungkinkan mahasiswa (karena telah berpendidikan) untuk menjadi pengusaha sesuai dengan jalur studinya. Namun pertanyaannya, bila seseorang tidak dibiasakan untuk produktif, mampukah dirinya mendadak berubah menjadi produktif?. Akan sangat sulit sekali menerapkan hal tersebut.
Konsumerisme adalah tembok tebal yang membatasi mahasiswa dari mengkritisi sebuah keadaan. Ia membelai dengan lembut, adiktif dan memanjakan walau yang sebenarnya diberikan hanyalah kepuasan semu. Sebenarnya untuk menggalakkan konsumsi selektif diperlukan peran banyak pihak yang saling bahu-membahu. Pihak yang dimaksud di sini adalah keluarga dan institusi pendidikan dasar. Dengan adanya seruan semacam ini secara besar-besaran, maka ada kemungkinan konsumerisme bisa ditangkal. Keluarga adalah poin penting untuk penanaman nilai semacam ini. Karena nilai yang melekat pada seseorang dibentuk oleh lingkungannya.
Sudah rahasia umum banyak gadis usia remaja yang menjual diri agar mampu memiliki barang-barang yang dianggap keren. Sudah rahasia umum untuk diterima menjadi anggota instansi dalam negeri perlu membayar sekian juta rupiah. Juga sudah menjadi pengetahuan kita semua, kalau angka kemiskinan republik ini masih tinggi.
Apakah kita akan terus berdiam diri membiarkan bangsa ini digerus konsumerisme?. Harapan saya terwakili oleh lirik lagu berikut.

Lekas, bangun dari tidur berkepanjangan
Menyatakan mimpimu
Cuci muka biar terlihat segar
Merapikan wajahmu
Masih ada jalan menjadi besar
Mengembara menjadi Indonesia
(Menjadi Indonesia-Efek Rumah Kaca)

JANGAN MENYERAH, PARA PENGUNGSI MENOLAK LEMAH

Hari itu, Minggu 7 November 2010, dua hari setelah erupsi terbesar Merapi terjadi. ratusan ribu pengungsi tersebar di berbagai lokasi. Saya yang menjadi bagian dari Gelanggang Emergency Response (GER) sedang berada di gedung Purna Budaya UGM. Gedung tersebut adalah salah satu dari ribuan bangunan di Jawa Tengah dan DIY yang menjadi pos pengungsian. Terdapat sekitar tujuh ratusan pengungsi, yang mayoritas terdiri atas wanita, anak-anak dan para lansia.
Ekspresi yang ada dari hampir semua pengungsi hampir sama, bibir berkerut, tatapan sedih, kepulan asap rokok dari beberapa bapak yang merenung. Mereka tampak lelah, banyak yang duduk dan berbincang satu sama lain. Hanya anak-anak yang bisa membawa sedikit keceriaan, mereka masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi. Mereka berlarian berkejaran satu sama lain kesana kemari, beberapa ibu tersenyum melihat keceriaan putra putri mereka. Kegembiraan anak-anak kecil seolah menjadi penghilang lelah dan penyemangat bagi para sukarelawan yang ada.
Malam ini, sebuah kelompok musik dari GPNU akan tampil untuk menghibur para pengungsi dengan bernyanyi dan mengadakan tausyiah. Jujur, saya begitu takjub dengan solidaritas masyarakat ketika bencana Merapi terjadi. Banyak orang yang datang menyatakan diri siap mengisi waktu untuk menghibur pengungsi.
Sekitar pukul setengah delapan acara dibuka, diawali dengan lagu yang berlanjut dengan tausyiah. Da’i yang ada menyerukan para pengungsi untuk bersabar dan bersyukur. Para pengungsi mendengarkan dengan tekun, ada yang duduk dan berdiri mengelilingi grup tersebut. Siraman rohani adalah penyegar, penguat diri untuk menghadapi kenyataan. Setelah acara Tausyiah selesai, sang da’i menyatakan akan membawakan lagu penutup.
“Ayo kita nyanyi bareng-bareng ya bapak-bapak, ibu-ibu, adek-adek, semoga Allah memberi kesabaran untuk kita semua” ucap sang da’i sebelum memberi tanda pada gitaris untuk mengawali lagu. Mendengar petikan gitar yang mengawali lagu populer dari D’Massive, anak-anak yang ada langsung tersenyum ceria. Lagu terkenal ini sudah pasti mereka hafal.
Agak mengagetkan, ketika lagu dimulai ternyata seluruh pengungsi yang mengikuti acara ikut bernyanyi. Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah, tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik, jangan menyerah, jangan menyerah, jangan menyerah. Dengan bersemangat, ratusan orang bersamaan menyanyikan lagu ini. Beberapa ibu terlihat meneteskan air mata karena terharu, namun mereka tersenyum, tatapan mereka menyiratkan semangat. Ya, para pengungsi tersenyum, lagu ini menyadarkan pengungsi kalau hidup adalah perjuangan dan menghidupkan filosofi Jawa, gusti ora sare,Tuhan akan selalu bersama hambanya. Atmosfer pengungsian yang tadinya suram, berubah mendadak menjadi bersemangat penuh haru.
Anak-anak berteriak sekeras mungkin, menyiratkan semangat muda mereka. Beberapa lansia mengusap air mata. Bukan sound system seadanya yang membuat lagu ini dinyanyikan penuh semangat oleh pengungsi, bukan pula faktor band asli yang terkenal di kalangan muda-mudi, melainkan faktor penolakan untuk menyerah, berputus asa menghadapi keadaan yang ada. Bahkan saya sendiri hampir meneteskan air mata melihat semangat yang muncul. Tubuh terasa bergetar melihat semangat dari manusia-manusia yang tertimpa bencana. Melihat upaya menolak untuk lemah menghadapi tantangan besar yang melanda. Saya pun ikut bergabung bersama para pengungsi untuk ikut bernyanyi. Lagu yang dinyanyikan bersama malam ini membuat saya belajar, begitu besar tantangan yang bisa diterima manusia. Betapa kita harus siap dan kuat menerima tantangan tak terduga yang mungkin tiba. Jangan Menyerah