Hari itu, Minggu 7 November 2010, dua hari setelah erupsi terbesar Merapi terjadi. ratusan ribu pengungsi tersebar di berbagai lokasi. Saya yang menjadi bagian dari Gelanggang Emergency Response (GER) sedang berada di gedung Purna Budaya UGM. Gedung tersebut adalah salah satu dari ribuan bangunan di Jawa Tengah dan DIY yang menjadi pos pengungsian. Terdapat sekitar tujuh ratusan pengungsi, yang mayoritas terdiri atas wanita, anak-anak dan para lansia.
Ekspresi yang ada dari hampir semua pengungsi hampir sama, bibir berkerut, tatapan sedih, kepulan asap rokok dari beberapa bapak yang merenung. Mereka tampak lelah, banyak yang duduk dan berbincang satu sama lain. Hanya anak-anak yang bisa membawa sedikit keceriaan, mereka masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi. Mereka berlarian berkejaran satu sama lain kesana kemari, beberapa ibu tersenyum melihat keceriaan putra putri mereka. Kegembiraan anak-anak kecil seolah menjadi penghilang lelah dan penyemangat bagi para sukarelawan yang ada.
Malam ini, sebuah kelompok musik dari GPNU akan tampil untuk menghibur para pengungsi dengan bernyanyi dan mengadakan tausyiah. Jujur, saya begitu takjub dengan solidaritas masyarakat ketika bencana Merapi terjadi. Banyak orang yang datang menyatakan diri siap mengisi waktu untuk menghibur pengungsi.
Sekitar pukul setengah delapan acara dibuka, diawali dengan lagu yang berlanjut dengan tausyiah. Da’i yang ada menyerukan para pengungsi untuk bersabar dan bersyukur. Para pengungsi mendengarkan dengan tekun, ada yang duduk dan berdiri mengelilingi grup tersebut. Siraman rohani adalah penyegar, penguat diri untuk menghadapi kenyataan. Setelah acara Tausyiah selesai, sang da’i menyatakan akan membawakan lagu penutup.
“Ayo kita nyanyi bareng-bareng ya bapak-bapak, ibu-ibu, adek-adek, semoga Allah memberi kesabaran untuk kita semua” ucap sang da’i sebelum memberi tanda pada gitaris untuk mengawali lagu. Mendengar petikan gitar yang mengawali lagu populer dari D’Massive, anak-anak yang ada langsung tersenyum ceria. Lagu terkenal ini sudah pasti mereka hafal.
Agak mengagetkan, ketika lagu dimulai ternyata seluruh pengungsi yang mengikuti acara ikut bernyanyi. Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah, tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik, jangan menyerah, jangan menyerah, jangan menyerah. Dengan bersemangat, ratusan orang bersamaan menyanyikan lagu ini. Beberapa ibu terlihat meneteskan air mata karena terharu, namun mereka tersenyum, tatapan mereka menyiratkan semangat. Ya, para pengungsi tersenyum, lagu ini menyadarkan pengungsi kalau hidup adalah perjuangan dan menghidupkan filosofi Jawa, gusti ora sare,Tuhan akan selalu bersama hambanya. Atmosfer pengungsian yang tadinya suram, berubah mendadak menjadi bersemangat penuh haru.
Anak-anak berteriak sekeras mungkin, menyiratkan semangat muda mereka. Beberapa lansia mengusap air mata. Bukan sound system seadanya yang membuat lagu ini dinyanyikan penuh semangat oleh pengungsi, bukan pula faktor band asli yang terkenal di kalangan muda-mudi, melainkan faktor penolakan untuk menyerah, berputus asa menghadapi keadaan yang ada. Bahkan saya sendiri hampir meneteskan air mata melihat semangat yang muncul. Tubuh terasa bergetar melihat semangat dari manusia-manusia yang tertimpa bencana. Melihat upaya menolak untuk lemah menghadapi tantangan besar yang melanda. Saya pun ikut bergabung bersama para pengungsi untuk ikut bernyanyi. Lagu yang dinyanyikan bersama malam ini membuat saya belajar, begitu besar tantangan yang bisa diterima manusia. Betapa kita harus siap dan kuat menerima tantangan tak terduga yang mungkin tiba. Jangan Menyerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar